Minggu, 12 Januari 2020

Nikmah Sunardjo,dkk: HIKAYAT PURASARA 5

Blog Ki Slamet 42: Wayang Islami
Senin,13 Januari 2020 - 05.21 WIB
 
Image "Lurah Semar (Foto: SP)
Wayang Kulit Lurah Semar

D. Transliterasi Naskah Hikayat Purasara

Diceritakan oleh oleh pengarang. Tatkala di dalam kayangan yang menjadi awal cerita lelakon, yaitu Sangyang Tunggal akan mencipta seorang laki-laki yang akan diturunkan ke dalam alam dunia untuk menduduki kerajaan di dunia. Maka siang dan malam Sangyang Tunggal membaca mantera tiada henti kira-kira sembilan puluh tahun lamanya. Maka muncullah mega yang mengeluarkan cahaya yang bersinar-sinar dalam kayangan hingga sekalian batara yang menghuni alam kayangan menjadi heran tercengang.
Sehilangnya cahaya muncullah seorang muda-belia, yang bersikap lemah lembut kelakuannya. Sangyang Tunggal terlalu amat suka cita hatinya, ia pun segera menghampirinya. Laki-laki itu pun sujud menyembah. Maka berkatalah Sang Tunggal,
“Sekarang, marilah ikut aku ke singgahsanaku!” Laki-laki itu lalu mengikutlah bersama-sama. Setelah sampai lalu didudukkannya di atas sebuah kursi. Maka sekalian batara-batara pun heran tercengang melihat laki-laki itu amat bagus. Masing-masing mengunjunginya. Berkatalah Sangyang Tunggal,
“Hai orang muda, sekarang aku hendak menurunkan kamu ke dunia supaya menjadi panjang lelakon. Dan sekarang aku beri nama kamu, Sangkara. Dan kamu bawalah seorang widadari dari kayangan ini Dewi Asmayawati, dia yang akan menjadi istrimu.”

Ketika mendengar ucapan Sangyang Tunggal, Sangkara menundukkan kepalanya, dan betapa amat gembiranya. Sangyang Tunggal terlalu sukacita hatinya dan terlalu amat kasihnya tiada terkira-kira timbullah pikirannya,
“Baiklah, aku pun akan turun ke dunia bersama-sama supaya akan memeliharakan anak cucunya dan anak buahnya dan keturunannya supaya jadi santosa karena jikalau aku turunkan yang lain, niscaya menjadi kemaslahatan. Jikalau demikian, aku akan menyamar sebagai Lurah Semar.
Setelah berpikir demikian, maka kata Sangyang Tunggal,
“Hai Sangkara, sekarang apakah bicaramu?”  Seraya menyembah, berkata Sangkara,
“Maulah hamba bersama-sama turun ke dunia, tetapi hendaknya ditemani Dewi Asmayawati supaya hamba betah.”  Demi mendengar ucapan Sangkara, berkata Sangyang Tunggal,
“Tak usah berpikir susah-susah dan selempang, nanti aku akan sertakan Lurah Semar sebagai panakawan dan Dewi Asmayawati untuk menemanimu.”  Sangyang Tunggal pun memanggil Dewi Asmayawati yang seketika itu juga datang seraya menyembah. Berkata Sangyang Tunggal,
“Hai Dewi Asmayawati, sekarang ikutlah kamu pada suamimu turun ke dunia.” Maka keduanya pun turunlah ke dunia sebagai dua sejoli suami istri.
Alkisah Sangyang Tunggal yang berada di kayangan berpikir,
“ Jika demikian, kerajaan kayangan ini sebaiknya aku serahkan kepada Sangyang Punggung, Batara Guru, karena dialah yang patut dijadikan Raja Kayangan.”  Maka dipanggilnyalah Batara Guru yang tak seberapa lama kemudian Sangyang Punggung Batara Guru pun datang menemui lalu memnyembah Sangyang Tunggal. Sangyang Tunggal menerima sembah sujud Batara Guru seraya berpesan,
“Dinda Batara Guru, sekarang kamu gantikanlah aku, dan aku serahkan Kerajaan Kayangan ini pengelolaannya kepadamu karena aku akan menjalani lelakon yang tentu akan menjadi panjang ceritanya.”
Setelah menyerahkan hak penguasaan pengelolaan pemerintahan Kerajaan Kayang kepada Sangyang Punggung atau Batara Guru, Sangyang Tunggal pun beralih rupa lalu gaiblah yang dalam waktu sekejap sampailah ia di hadapan Sangkara. Dilihatnya Sangkara serta Dewi Asmayawati sedang berjalan dengan perasaan bingung karena hatinya merasa heran melihat dunia yang luas dan apa yang yang telah dikatakan oleh Sangyang Tunggal tentang panakawan yang bernama  Semar pun belum ada. Maka dengan perasaan masgul.
Ketika Sangkara melihat seorang kakek tua yang entah dari mana datangnya itu, yang bertubuh hitam dan bergigi satu ia berpikir mungkin orang tua itulah yang bernama Lurah Semar Kudapawana. Maka segera Sangkara pun menghampiri dan menegur orang tua itu,
“Wahai orang tua, darimanakah asalmu, dan bagaimana bia bapak bisa berada di tempat ini?”  Mendengar pertanyaan Sangkara, orang tua itu menyembah seraya berkata,
“Ya Tuanku, akulah yang bernama Lurah Semar yang diperintah oleh Sangyang Tunggal menjadi panakawan untuk mengikuti Tuan di dunia!” Demi mendengar penuturan orang tua itu yang tak lain adalah Lurah Semar panakawannya betapalah sukacita hati Sangkara dan Dewi Asmayawati. Maka mereka bertiga pun melanjutkan perjalanannya.

B e r s a m b u n g

  
—KSP 42—
Senin, 13 Januari 2020 – 05.17 WIB
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

P u s t a k a :                             
Nikmah Sunardjo, dkk
“Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010
 

Jumat, 10 Januari 2020

Nikmah Sunardjo, dkk: HIKAYAT PURASARA 4

Blog Ki Slamet 42: Wayang Islami
Sabtu, 11 Januari 2020 - 03.10 WIB
 
Image "Purasara" (Foto: SP)
Arjuna (Purasara)
C. Pertanggungjawaban Transliterasi Naskah Hikayat Purasara

Naskah “Hikayat Purasara” ini ditulis dengan huruf Arab Melayu. Oleh karena teks ini ditransliterasikan ke dalam tulisan Latin maka masalah ejaan perlu dibicarakan walau hanya terbatas pada puntuasi. Penulisan huruf esar, kata ulang, kata depan, dan partikel disesuaikan dengan pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan waktu mentransliterasikan naskah.
Tanda titik hampir seluruhnya diterapkan berdasarkan tanda yang terlihat di dalam teks, seperti kata maka, adapun, setelah, kadang-kadang kata dan, demikian, jadi, dan syahdan. Kata-kata itu dapat dijadikan sebagai permulaan suatu kalimat. Sebenarnya fungsi kata maka itu adalah sebagai penghubung antar kalimat. Oleh karena itu, kata maka baru dapat ditempatkan di awal kalimat apabila ternyata bahwa kalimat sebelumnya sudah selesai.
Kata yang dipakai sebagai permulaan sebuah alinea, yaitu alkisah, hatta, sebermula, syahdan, kalakian, dan kadang-kadang kata maka.
Dalam naskah “Hikayat Purasara” banyak terdapat kata yang berasal dari bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa Sunda yang berasal dari bahasa Melayu dialek Betawi. Beberapa contoh kosa kata dari bahasa Jawa: ora ana negara (HP:5), teka ana, inyong (HP:7), kawula (HP:4), kula nuwun (HP:121), dua bait kidung yang ada pda naskah itu (HP: 12I), dan lunga metu sing ana (HP:149). Beberapa contoh yang berasal dari bahasa Sunda ialah akang (HP:15), lintuh (HP:23), lapat-lapat (HP:46), babayi (HP:75) dan babujangan (HP:102), sedangkan yang berasal dari bahasa Melayu dialek Betawi ialah mega lantaran (HP:1), selempang (HP:2), mengkali (HP:5), belon (HP:6), tempo (HP:6), dicolong (HP:13), silap (HP:19), tumben (HP:50), mengulap-ulapan (          HP:46), dan sebagainya. Selain itu ada beberapa kosa kata yang menunjukkan pengaruh kebudayaan Barat, misalnya, kursi, menja, perlente, permisi, pilar, bahkan ditemui juga kata dari bahasa Belanda, yaitu sonder  yang berasal dari zonder yang artinya tanpa  dan kata onslag yang berasal dari kata ontslag yang artinya dipecat. Di samping kata-kata di atas, pemakaian kata rumrum (HP:98), merumrum (HP:131), dan mengerumrum (HP:135) terdapat juga pada hikayat ini yang artinya membujuk atau mencumbu. Menurut van der Tuuk cerita wayang Melayu ini merupakan saduran dari syair Jawa Kuno sehingga sampai pada kesimpulan dengan membandingkan kata merumrun dalam wayang Melayu, sedangkan dalam bahasa Jawa Kuno mengrumrum/mangrumrum (Liau, 1982:72). Dalam “Hikayat Purasara” kedua kata-kata itu dipakai.
Penulisan naskah cukup baik, walaupun ada juga kesalahan, seperti Sentanu pada halaman 58 seharusnya Perbata; haplografi seperti telah ditulis (te)lah (HP:133) dan dittografi yaitu dua kali penulisan suatu kata yang bukan kata ulang, seperti Raden (HP:90). Dalam naskah ini apabila ada bunyi e, konsonan berikutnya berikutnya ditulis dua kali, misalnya seddi (HP:120), lessu (HP:125), teppoh (HP:133), dan ditulis secara konsisten; Selain itu juga ditemui adanya pengulangan konsonan setelah bunyi u pada dilauttan (HP:133) dan a pada kata layani (HP:142) tanda baca terdapat dalam naskah ini, terutama untuk penulisan nama-nama tokoh, tempat, dan kata-kata Jawa, seperti Sangkara (HP:1), Suktadirja (HP:5) danora ana negera (GP:5). Namun secara keseluruhan tidak mengganggu kelancaran cerita.
Naskah “Hikayat Purasara” yang bernomor M1. 178 ini merupakan naskah tunggal; maka untuk memelihara ciri-ciri dan kelainan khas yang ada di dalamnya, naskah itu ditrasliterasika sebagaimana adanya. Namun, sepanjang tidak mempengaruhi ciri-ciri dan kekhasan itu, transliterasi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Semua itu dilakukan dengan tujuan supaya pembaca lebih jelas menangkap isi dan maksud ceritanya. Untuk jelasnya dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

a.            Alinea dibuat berdasarkan tahap-tahap atau urutan peristiwa di dalam cerita.
b.            Kata atau kalimat Arab yang umum dipakai ditulis seperti yang ada dalam KUBI, misalnya, kabar, sedangkan kata atau kalimat Arab yang belum lazim, penulisannya berpedoman pada hasil Sidang VIII Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia dalam Lampiran X Hasil Kerja Kelompok Agama Cisarua, Bogor, Indonesia, 9-13 Agustus 1976. Misalnya wa I-Lahu ‘alam bi s-sawab (HP:74).
c.             Kata-kata yang dianggap sukar atau tidak lazim atau dianggap berasal dari bahasa daerah diberi garis bawah dan dimasukkan ke dalam kata-kata sukar. Daftar kata sukar dan artinya dilampirkan. Dalam hal ini dipergunakan Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Dewan, Kamus Dialek Melayu Jakarta-Bahasa Indonesia, dan Niew Maleisch-Nederlandsch Woordenboek.
d.            Angka Arab yang terdapat di sebelah pinggir kiri dipergunakan untuk menandai halaman naskah.
e.            Garis miring dua ( // ) dipakai untuk menandai batas halaman naskah.
f.              Kata-kata yang dalam bahasa Indonesia lazimnya memakai huruf h, tetapi dalam teks tidak ada huruf h maka ditransliterasikan apa adanya. Demikian juga kata-kata yang dalam bahasa Indonesia tidak menggunakan huruf h, tetapi dalam naskah mempergunakan huruf h; semua itu ditulis apa adanya untuk menjaga kekhasan naskah itu.
g.            Untuk kata-kata atau huruf yang ditambahkan dalam transliterasi mempergunakan kata kurung ( . . . ), sedangkan untuk kata yang dibuang atau haplografi mempergunakan tanda kurung / . . . /.
h.            Kata ulang dalam naskah ditulis dengan angka dua. Namun, karena berpedoman dengan Pedoman Bahasa Indonesia yang Disempurnakan serta disesuaikan dengan konteks kalimatnya ditulis dua kali.

—KSP 42—
Sabtu, 11 Januari 2020 –03.10 WIB
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

P u s t a k a :                             
Nikmah Sunardjo, dkk
“Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010

Kamis, 09 Januari 2020

Nikmah Sunardjo,dkk: HIKAYAT PURASARA 3

Blog Ki Slamet 42: Wayang Islami
Juat, 10 Januari 2020 - 05.46 WIB

Image "Hikayat Purasara" (Foto: google)
B. RINGKASAN ISI CERITA

Raja Wangsapati dan istrinya Dewi Wargapati, di negeri Wirata mempunyai seorang anak perempuan yang cantik bernama Dewi Raramis, tetapi badannya berbau amis. Berkali-kali kedua orang tuanyan mengobati anaknya itu dan sudah beberapa orang tabib, tetapi tidak juga sembuh. Suatu hari Raja Wangsapati memanggil Dewi Raramis dan menyuruhnya menjadi penganak perahu dengan bayaran mengobati penyakitnya. Dewi Raramis menuruti orang tuanya pergi bersama kedua dayangnya ke tepi bengawan untuk menyeberangkan orang yang memerlukannya. Dewi Raramis hanya boleh kembali ke negerinya kalau sudah sembuh dari penyakitnya.
Purusara yang sedang berjalan bersama ketiga panakawannya itu sampailah di tepi bengawan itu, kemudian mencari penyeberangan. Purusara meminta tolong diseberangkan dan berjanji akan mengobati penyakit Dewi Raramis dengan pertolongan Lurah Semar. Lurah Semar memberikan kunyit kepada Purusara untuk dibalurkan ke seluruh tubuh Raramis sehingga sembuh. Akhirnya Dewi Raramis dapa disembuhkan oleh Purusara dan mereka pergi ke negeri Wirata. Sesuai janji Raja Wangsapati. Dewi Raramis dan Purasara pun dikawinkan. Kemudian mereka pun pulang ke negeri Suktadirja.
Purusara dan Dewi Raramis tinggal berapa lama di negeri Suktadirja. Beberapa bulan kemudian Dewi Raramis mengandung. Ketika melihat istrinya mengandung, Purusara pun pergi bertapa agar mendapat anak yang sakti. sepeninggal Purusara, istrinya yang sedang mengandung itu digoda oleh Sentanu agar mau meladeni keinginannya. Namun, Dewi Raramis menolak keinginan iparnya itu. Suatu hari Sentanu mengancam akan membunuh panakawannya kalau maksudnya tidak terkabul sehingga Dewi Raramis mencari akal agar panakawannya yang tidak berdosa itu tidak mendapat celaka. Untuk menghindari malapetaka yang akan timbul, Dewi Raramis meminta kepada Sentanu bahwa ia akan melaksanakan maksudnya kalau negeri itu diberikan kepadanya. Sentanu setuju dan akan menyerahkannya kepada Dewi Raramis. Rupanya maksud Sentanu itu diketahui oleh putranya yang bernama Raden Perbata, yang kemudian bermaksud untuk membunuh bibinya. Ketika Lurah Semar melihat Dewi Raramis hendak dibunuh oleh Raden Perbata, ia melarikan Dewi Raramis yang sedang menangis ke dalam hutan. Raden Perbata mengejar Lurah Semar yang sedang membopong Dewi Raramis masuk ke dalam hutan menghindari kejaran Raden Perbata. Anak-anak Lurah Semar turut berlari mengikuti Lurah Semar dan Dewi Raramis. Setelah mereka bertemu lalu mencari Purusara untuk mengadukan halnya. Ternyata Raden Perbata tidak melanjutkan pengejarannya terhadap Dewi Raramis, tetapi kembali ke istana.
Sentanu pergi ke istana dengan harapan Dewi Ramis mau menerima dirinya dan hasratnya terlaksana. Akan tetapi ternyata Dewi Raramis tidak berada di dalam keratonnya. Lalu ia mencari Dewi Raramis sambil memanggil-manggil nama Dewi Raramis, seperti laku orang yang kurang waras. Dewi Raramis yang melarikan diri bersama panakawannya bertemu dengan Purusara dan membangunkan suaminya yang sedang bertapa lalu mengadukan halnya. Purusara tidak mempercayai cerita istrinya. Tetapi ketika Sentanu datang dengan sikap seperti orang gila, Purusara pun percaya apa yang dikatakan oleh istrinya. Purusara menyuruh Lurah Semar membawa istrinya dari tempat itu dan ia berperang dengan Sentanu karena Sentanu memaksa Dewi Raramis mengikutinya.
Pertempuran antara Sentanu dan Purusara berlangsung dari siang hingga malam hari tanpa henti bahkan sampai berbulan-bulan karena tidak ada yang kalah dan menang sehingga kayangan menjadi goncang dan dunia menjadi rusak binasa. Mereka lupa bahwa Dewi Raramis sedang mengandung dan saatnya untuk melahirkan dengan pertolongan. Dengan pertolongan Sangyang Batara, lahirlah putra Dewi Raramis itu dengan selamat yang diberi nama Ganggasuta. Ganggasuta diasuh oleh Lurah Semar dan anak-anaknya sampai ia pandai berkata-kata dan menanyakan ayahnya yang sedang bertempur.
Batara Narada turun diutus oleh Sangyang Punggung karena kayangan goncang, Batara Narada melihat dunia menjadi hancur akibat perang yang ditimbulkan oleh dua orang bersaudara itu. Ia turun mengobati dan memperbaiki apa yang rusak dan dikembalikan lagi seperti keadaan semula sebelum terjadi peperangan oleh keduanya. Batara Narada melihat Sentanu dan Purusara berperang. Ia lalu melerai dan memisahkan keduanya dan menanyakan sebab-sebabnya, sehingga mereka pun bisa berdamai kembali seperti semula sebagai dua orang bersaudara. Dalam pembicaraan itu, Batara Narada menyebutkan bahwa kelak keturunan Purusara akan ada yang mempunyai sifat seperti Sentanu yaitu, Arjuna atau Janawi.
Sentanu yang menyadari akan kekeliruannya dan mengajak Purusara kembali ke negeri Suktadirja, tetapi Purusara yang masih merasa sakit hati tidak menjawab ajakan Sentanu. Oleh karena Sentanu tidak berhasil mengajak Purusara, ia pun pulang sendiri ke negerinya, sedangkan Purusara dengan hati yang masygul pergi mencari istrinya yang sudah pergi menuju negeri Wirata. Ketika Purusara mencari istri dan anaknya ia tersesat di dalam hutan. Saat itu ia mendengar suara anak kecil yang sedang menangis mencari ayahnya.    

 Jumat, 10 Januari 2020 – 05.54 WIB
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

Pustaka                                     
Nikmah Sunardjo, dkk
“Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010

Jumat, 03 Januari 2020

HIKAYAT PURASARA 2 : Nikmah Sunardjo, dkk

Blog Ki Slamet 42 : Wayang Islami
Sabtu, 04 Januari 2020-08.23 WIB

Image "Purasara" (Foto:Google)

B. RINGKASAN ISI CERITA

Sangyang Tunggal ingin menurunkan seorang manusia untuk memerintah di dunia. Setelah ia memuja siang dan malam selama sembilan puluh tahun, maka terciptalah seorang laki-laki yang tampan dan lembut sikapnya. Ciptaannya itu dinamai Sangkara dan diberi seorang sebagai istrinya, yaitu Dewi Asmayawati, lalu mereka turun kedunia. Setelah Sangyang Tunggal menyerahkan kayangan kepada Sangyang Punggung (Batara Guru), lalu ia menyamar sebagai Lurah Semar. Mereka turun ke dunia dan mendirikan kerajaan Suktadirja.
Lurah Semar mencipta Garubug dan Petruk sebagai anak-anaknya untuk membantu melayani Sangkara dan istrinya. Sangkara mempunyai tiga anak laki-laki yang bernam Sentanu, Purusara, dan Sambirawa. Ketiga putranya ini diajari ilmu perang oleh ayahnya sehingga mereka sangat terkenal keberaniannya dan menaklukkan beberanapa negeri.
Sentanu dan Purusara mempunyai kesukaan berkelana dan menaklukkan negara-negara lain. Mereka ditemani oleh ketiga panakawannya yang setia itu. Suatu hari keduanya pergi berkelana dan kembali dengan membawa seorang putri yang cantik bernama Putri Sriwati. Dewi Asmayawati sangat senang melihat putri itu dan ingin mengawinkannya dengan salah seorang anaknya. Oleh karena Purusara belum ingin beristri, maka Putri Sriwati dikawinkan dengan Sentanu.
Bagawan Sangkara merasa sudah saatnya harus kembali kekayangan, lalu menyerahkan kerajaannya kepada kedua putranya. Purusara yang suka berkelana dan bertapa itu tidak setuju kerajaannya dibagi dua karena ia belum mau menjadi raja. Kerajaan diserahkan kepada Sentanu, sementara Purusara pergi bertapa di Gunung Parasu yang merupakantempat pertapaan para batara.
Sangyang Punggung tidak suka Purusara bertapa digunung Parasu karena hal itu merupakan pertapaannya dan Sangyang Punggung takut kalau Purusara dapat mengalahkan kesaktiannya. Oleh karena itu Batara Guru menyuruh empat orang batara untuk menghalangi maksud Purusara. Keempat batara itu menjelma menjadi raksasa dan mengganggu perjalanan mereka. Namun, raksasa itu dapat dikalahkan oleh Purusara dan panakawannya. Setelah raksasa itu dapat dikalahkan, mereka menghilang lalu kembali ke kayangan dan mengadukan hal itu kepada Batara Guru (Sangyang Punggung). Sangyang Punggung menyuruh empat orang batara yang lain untuk menghalagi Purusara bertapa di gunung itu. Keempat batara itu menjelma sebagai empat ekor binatang yang buas dan menghadang mereka, tetapi semuanya dapat dikalahkan oleh Purusara dan panakawannya sehingg Purusara dapat mencapai puncak gunung itu. Sesampai di puncak gunung itu, Purusara berpesan kepada panakawannya agar jangan membangunkan dirinya sebelum sampai waktunya. Mereka hanya disuruh menjenguknya Setiap tiga bulan sekali. Setelah berpesan demikian, Purusara mulai bertapa di atas sebuah batu putih. Sedangkan panakawannya membuat gubuk dan berkebun buah-buahan dan sayur-mayur.
Sepeninggal Purusara bertapa, Sentanu dan istrinya memiliki seorang putra bernama Raden Perbatasari. Setelah dewasa, Raden Perbatasari ingin bertemu dengan pamannya yang bernama Purusara. Ia memohon kepada orang tuanya untuk pergi mencari pamannya, tetapi dicegah oleh ayahnya. Purusara yang sedang bertapa itu tidak ingat lagi akan dirinya karena badannya sudah dikelilngi akar tumbuh-tumbuhan dan tertutup oleh daun-daunan sehingga dari badannya mengeluarkan cahaya yang terus-menerus menuju kayangan. Oleh karena Purusara kuat bertapanya, kayangan menjadi guncang dan para bidadari banyak yang sakit. Sangyang Punggung menyuruh bidadari menggoda tapa Purusara, tetapi  tidak berhasil. Demikian pula Batara Narada terpaksa urun dan membangunkannya, juga tidak berhasil.
Sepasang burung emprit bertelur di atas kepala Purusara karena disangkanya bukan kepala orang karena tidak bergerak-gerak. Burung itu bertelur sebanyak delapan belas butir dan menetas semuanya. Setiap hari induk burung itu pergi mencari makan untuk anaknya sehingga anak-anak burung itu ramai mencicit apabila melihat induknya membawa makanan. Akibatnya Purusara terbangun akibatnya Purusara terbangun karena mendengar suara anak-anak burung itu dan ia menjadi marah lalu menyumpahi burung itu agar tidak memperoleh anak yang banyak. Sampai sekarang burung emprit itu hanya dapat bertelur dan menetas menjadi anak sebanyak tujuh ekor saja. sebenarnya Purusara terbangun dari tapanya karena Lurah Semar menggigit jempolnya karena merasa khawatir dengan keadaan tubuh tuannya. Setelah terbangun dari tapanya, Purusara memanggil panakawannya dan mengajaknya pergi melanjutkan pengembaraannya kembali.

 Jumat, 03 Januari 2020 – 07.44 WIB
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

Pustaka
Nikmah Sunardjo, dkk
“Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010