Jumat, 10 Januari 2020

Nikmah Sunardjo, dkk: HIKAYAT PURASARA 4

Blog Ki Slamet 42: Wayang Islami
Sabtu, 11 Januari 2020 - 03.10 WIB
 
Image "Purasara" (Foto: SP)
Arjuna (Purasara)
C. Pertanggungjawaban Transliterasi Naskah Hikayat Purasara

Naskah “Hikayat Purasara” ini ditulis dengan huruf Arab Melayu. Oleh karena teks ini ditransliterasikan ke dalam tulisan Latin maka masalah ejaan perlu dibicarakan walau hanya terbatas pada puntuasi. Penulisan huruf esar, kata ulang, kata depan, dan partikel disesuaikan dengan pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan waktu mentransliterasikan naskah.
Tanda titik hampir seluruhnya diterapkan berdasarkan tanda yang terlihat di dalam teks, seperti kata maka, adapun, setelah, kadang-kadang kata dan, demikian, jadi, dan syahdan. Kata-kata itu dapat dijadikan sebagai permulaan suatu kalimat. Sebenarnya fungsi kata maka itu adalah sebagai penghubung antar kalimat. Oleh karena itu, kata maka baru dapat ditempatkan di awal kalimat apabila ternyata bahwa kalimat sebelumnya sudah selesai.
Kata yang dipakai sebagai permulaan sebuah alinea, yaitu alkisah, hatta, sebermula, syahdan, kalakian, dan kadang-kadang kata maka.
Dalam naskah “Hikayat Purasara” banyak terdapat kata yang berasal dari bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa Sunda yang berasal dari bahasa Melayu dialek Betawi. Beberapa contoh kosa kata dari bahasa Jawa: ora ana negara (HP:5), teka ana, inyong (HP:7), kawula (HP:4), kula nuwun (HP:121), dua bait kidung yang ada pda naskah itu (HP: 12I), dan lunga metu sing ana (HP:149). Beberapa contoh yang berasal dari bahasa Sunda ialah akang (HP:15), lintuh (HP:23), lapat-lapat (HP:46), babayi (HP:75) dan babujangan (HP:102), sedangkan yang berasal dari bahasa Melayu dialek Betawi ialah mega lantaran (HP:1), selempang (HP:2), mengkali (HP:5), belon (HP:6), tempo (HP:6), dicolong (HP:13), silap (HP:19), tumben (HP:50), mengulap-ulapan (          HP:46), dan sebagainya. Selain itu ada beberapa kosa kata yang menunjukkan pengaruh kebudayaan Barat, misalnya, kursi, menja, perlente, permisi, pilar, bahkan ditemui juga kata dari bahasa Belanda, yaitu sonder  yang berasal dari zonder yang artinya tanpa  dan kata onslag yang berasal dari kata ontslag yang artinya dipecat. Di samping kata-kata di atas, pemakaian kata rumrum (HP:98), merumrum (HP:131), dan mengerumrum (HP:135) terdapat juga pada hikayat ini yang artinya membujuk atau mencumbu. Menurut van der Tuuk cerita wayang Melayu ini merupakan saduran dari syair Jawa Kuno sehingga sampai pada kesimpulan dengan membandingkan kata merumrun dalam wayang Melayu, sedangkan dalam bahasa Jawa Kuno mengrumrum/mangrumrum (Liau, 1982:72). Dalam “Hikayat Purasara” kedua kata-kata itu dipakai.
Penulisan naskah cukup baik, walaupun ada juga kesalahan, seperti Sentanu pada halaman 58 seharusnya Perbata; haplografi seperti telah ditulis (te)lah (HP:133) dan dittografi yaitu dua kali penulisan suatu kata yang bukan kata ulang, seperti Raden (HP:90). Dalam naskah ini apabila ada bunyi e, konsonan berikutnya berikutnya ditulis dua kali, misalnya seddi (HP:120), lessu (HP:125), teppoh (HP:133), dan ditulis secara konsisten; Selain itu juga ditemui adanya pengulangan konsonan setelah bunyi u pada dilauttan (HP:133) dan a pada kata layani (HP:142) tanda baca terdapat dalam naskah ini, terutama untuk penulisan nama-nama tokoh, tempat, dan kata-kata Jawa, seperti Sangkara (HP:1), Suktadirja (HP:5) danora ana negera (GP:5). Namun secara keseluruhan tidak mengganggu kelancaran cerita.
Naskah “Hikayat Purasara” yang bernomor M1. 178 ini merupakan naskah tunggal; maka untuk memelihara ciri-ciri dan kelainan khas yang ada di dalamnya, naskah itu ditrasliterasika sebagaimana adanya. Namun, sepanjang tidak mempengaruhi ciri-ciri dan kekhasan itu, transliterasi dilakukan berdasarkan ketentuan dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Semua itu dilakukan dengan tujuan supaya pembaca lebih jelas menangkap isi dan maksud ceritanya. Untuk jelasnya dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

a.            Alinea dibuat berdasarkan tahap-tahap atau urutan peristiwa di dalam cerita.
b.            Kata atau kalimat Arab yang umum dipakai ditulis seperti yang ada dalam KUBI, misalnya, kabar, sedangkan kata atau kalimat Arab yang belum lazim, penulisannya berpedoman pada hasil Sidang VIII Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia dalam Lampiran X Hasil Kerja Kelompok Agama Cisarua, Bogor, Indonesia, 9-13 Agustus 1976. Misalnya wa I-Lahu ‘alam bi s-sawab (HP:74).
c.             Kata-kata yang dianggap sukar atau tidak lazim atau dianggap berasal dari bahasa daerah diberi garis bawah dan dimasukkan ke dalam kata-kata sukar. Daftar kata sukar dan artinya dilampirkan. Dalam hal ini dipergunakan Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Dewan, Kamus Dialek Melayu Jakarta-Bahasa Indonesia, dan Niew Maleisch-Nederlandsch Woordenboek.
d.            Angka Arab yang terdapat di sebelah pinggir kiri dipergunakan untuk menandai halaman naskah.
e.            Garis miring dua ( // ) dipakai untuk menandai batas halaman naskah.
f.              Kata-kata yang dalam bahasa Indonesia lazimnya memakai huruf h, tetapi dalam teks tidak ada huruf h maka ditransliterasikan apa adanya. Demikian juga kata-kata yang dalam bahasa Indonesia tidak menggunakan huruf h, tetapi dalam naskah mempergunakan huruf h; semua itu ditulis apa adanya untuk menjaga kekhasan naskah itu.
g.            Untuk kata-kata atau huruf yang ditambahkan dalam transliterasi mempergunakan kata kurung ( . . . ), sedangkan untuk kata yang dibuang atau haplografi mempergunakan tanda kurung / . . . /.
h.            Kata ulang dalam naskah ditulis dengan angka dua. Namun, karena berpedoman dengan Pedoman Bahasa Indonesia yang Disempurnakan serta disesuaikan dengan konteks kalimatnya ditulis dua kali.

—KSP 42—
Sabtu, 11 Januari 2020 –03.10 WIB
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

P u s t a k a :                             
Nikmah Sunardjo, dkk
“Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar