Sabtu, 09 Juni 2018

"HIKAYAT WAYANG ARJUNA DAN PURUSARA"

Ki Slamet Blog - Wayang Islami
Sabtu, 09 Juni 2018 - 22:47 WIB

Image "Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara (Foto: SP)
Hikayat Wayang Purwa


“Hikayat Wayang Arjuna dan Purasara” itu naskahnya hanya satu, disimpan di Museum Nasional Jakarta, kedua naskah ini berbahasa Melayu dialek Betawi. Bahasanya banyak dipengaruhi oleh bahasa daerah, antara ain, bahasa Jawa dan Sunda.

Naskah “Hikayat Wayang Arjuna” mempunyai kolofon yang berbunyi seperti berikut “hari Sabtu, jam setenga tiga siang, berbetulan pada 21 Mei tahun Almasehi 1897; Tahun Jim akhir, berbetulan 20 Zulhijjah, Hijrah 1314”, sedangkan naskah “Hikayat Purasara” tidak berkolofonn. Cerita hikayat ini berakhir pada waktu Purasara sedang tersesat, sedangkan “Hikayat Wayang Arjuna” ceritanya selesai.

Kedua naskah ini rupanya isinya saling berkaitan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa di dalam naskah “Hikayat Purasara” disebutkan Purasara yang membenci Sentanu itu kelak akan mendapatkan keturunan yang sifatnya sama seperti Sentanu, yaitu Arjuna. Sifat Sentanu yang mata keranjang itu memang diwariskan kepada Rajuna ( Arjuna ) dalam “Hikayat Wayang Arjuna”. Jadi, ramalan Batara Narada dalam  “Hikayat Purasara” itu terbukti di dalam “Hikayat Wayang Arjuna”. 

Hubungan kedua naskah itu ialah dalam “Hikayat Purasara”,Tokoh Purasara selalu bertapa untuk mendapatkan keturunan yang sakti agar dapat menjadi raja yang besar. Keinginannya itu tercapai dalam “Hikayat Wayang Arjuna”. Tokoh Arjuna, salah satu keturunan Purasara, itu sangat sakti. Rajuna dapat mengalahkan semua musuh-musuhnya, bahkan dewa yang tertinggi pun dapat dikalahkannya.

Persamaan yang terdapat di dalam kedua naskah itu ialah persamaan sifat antara Purasara dengan Arjuna. Mereka suka bertapa dan mencari ilmu agar memperoleh kesaktian sehingga menjadi orang yang sakti mandraguna dan tidak terkalahkan. Mereka sama-sama bertapa sampai tidak sadarkan sehingga badannya dililit akar pohon dan kepalanya dijadikan sarang oleh burung. Bedanya, kepala Purasara dibuat sarang oleh burung prit, sedangkan kepala Rajuna dibuat sarang burung manyar dan semut api.

Kedudukan “Hikayat Wayang Arjuna” dan “Hikayat  Purasara” ialah sebagai lakon carangan karena gubahan pujangga In donesiaa. Selain gubahan pujangga Indonesia, lakon carangan juga berciri adaya unsur panakawan, yang merupakan unsur asli Indonesia. Perbedaan kedua naskah itu mengenai unsur panakawan ini, ialah pemunculan jumlah panakawannya. Dalam “Hikayat Pursara” panakawan yang muncul, ialah Lurah Semar, Garubug, dan Petruk; Cerumis disebut sekali oleh penulis pada halaman pertama. Dalam “Hikayat Wayang Arjuna” muncul nama-nama tempat yang sampai sekarang kita kenal dan masih ada, seperti Lapangan Gambir dan Pasar Baru. Jadi, lakon carangan itu ialah cerita yang mempunyai nama tokoh-tokohnya sama dengan Mahabharata, sedangkan jalan ceritanya menyimpang.

Fungsi “Hikayat Arjuna” dan “Hikayat Purasara” sebagai media dakwah agama Islam karena dewa-dewa sebagai penguasa yang tertinggi sudah digantikan oleh yang Maha Kuasa, yang mengacu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam cerita itu pun sudah jelas bahwa dewa-dewa yang tertinggi pun dikalahkan oleh manusia sehingga menghapus kepercayaan bahwa dewalah penguasa yang tertinggi di dunia. Selain itu, beberapa kali naskah itu menyebut pada Yang Maha Kuasa. Fungsi lain yang terlihat ialah sebagai hiburan yang tidak membosankan karena ceritanya menarik, apalagi cerita “Hikayat Wayang Arjuna” yang bertemakan petualangan cinta Arjuna.

Funsi panakawan dalam “Hikayat Wayang Arjuna”, dalam hal ini Semar, memberi petunjuk kepada Rajuna (HWA: 130-131). Semar yang memutuskan bahwa Rajuna sudah hidup kembali dengan meludahi air sumur buatannya itu. Di sini terlihat bahwa panakawan itu berfungsi sebagai pembimbing dan pelindung Pandawa. Fungsi panakawan dalam “Hikayat Purasara” pun demikian juga; Semar membantu Purasara dari gangguan raksasa dan binatang yang ingin menggagalkan kedatangan Purasara di Gunung Parasu atas permintaan Batara Guru. Semar pula yang membantu kelahiran Raramis di hutan dan membawanya ke negeri Wirata.

Beberapa amanat “Hikayat Wayang Arjuna” adalah ;

1.            Jangan menceritakan keburukan saudara sendiri karena hal itu berarti akan menjelekkan diri sendiri; hal ini sama dengan pepatah ‘menepuk air di dulang terpercik muka sendiri’;
2.            Jangan suka berburuk sangka atau curiga karena sifat itu dapat mencelakakan diri;
3.            Perbuatan yang kurang hati-hati dan percaya pengaduan orang lain akan mencelakakan diri sendiri;
4.            Segala sesuatu apabila sudah ditakdirkan tetap akan terlaksana.

Tema “Hikayat Purasara” ialah pencarian manusia sempurna, seperti yang dicita-citakan dewata. Dalam hikayat ini Purasara merupakan tokoh yang hampir menjadi manusia sempurna. Namun, seperti yang disampaikan oleh amanat cerita ini bahwa tidak mungkin ada manusia yang sempurna di dunia ini. Purasara dengan segala keutuhannya, sebagai manusia tidak dapat lepas dari kesalahan, dan Purasara itu mau memaafkan kakaknya yang mengganggu isterinya. Dia juga mengutuk keturunan Sentanu dan keturunnya agar tidak pernah rukun dan damai. Amanat yang dapat terlihat dalam hikayat ini ialah orang tidak mudah untuk mencapai kemakmuran di dunia. Jadi, tidaklah mudah untuk mendapat apa yang dicita-citakan.

Transliterasi naskah kedua hikayat itu dilengkapi dengan daftar kata sukar sebagai lampiran yang dicantumkan setelah daftar pustaka untuk memudahkan orang memahami jalan ceritanya.

SUMBER :
Nikmah S, Muh. Fanani, Sri Sayekti, Putri M. Mutiara, Nurul Ainin,
“Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara”,
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010



Rabu, 06 Juni 2018

DUKA KUNTI LARA DRUPADI 2

Ki Slamet Blog - Wayang Islami
Kamis, 07 Juni 2018 - 08:18 WIB

 
DEWI DRUPADI
KAKAWIN BHARATAYUDA PUPUH LI (1-32)
Duka Kunti Lara Drupadi 2
TRANSKRIPSI
TERJEMAHAN BEBAS
5
Nahan ling Krêshnna ndan prawara mahishi tan wawa rênggö.
Têkeng ҫri Kunti kemêngan apêga len
Pânnddutanaya.
Alök tâmbök ҫri Keҫawa rasa manahning duwahagi.
Ri denya n tan ҫighrâwa hatinra sang tibra kalaran.

5
Demikian nasehat Kresna kepada dewi Drupadi, tapi sang permaisuri Drupadi tidak mau mendengarkan. Begitu pula dengan dewi Kunti, anak-anak Pandu, dan orang Pandawa semua merasakan kesedihan yang teramat sangat. Dan, kesedihan hati mereka belum ada obatnya hingga mereka bisa terhibur.
6
Rikâ rêp sangkeng sûkshma sira bhagawân Wyâsa sakala.
Têkâlungguh ngkâne harêpira sang onêk salahasa.
Mapang kagyat sakwehnira parêng anêmbah tan akaddat.
Musap jöng sang Pânnddyâsêgêh inujaran de muniwara.
6
Ketika situasinya sudah mulai tenang, Begawan Wyasa menampakkan diri  ke wujud jasmaniahnya. Begawan Wyasa duduk di depan mereka yang sedang dirudung kesedihan. Mereka merasa terkejut, dan langsung menyembah lalu mencuci kaki Begawan Wyasa sambil berucap kata selamat datang. Tak lama berkatalah Sang Begawan terkenal itu;

7
Nihan donku n prâptâpitutura ri ҫokanta malara.
Panddêm ring samyâgjnâna pamunah ikang duhka ri hati.
Tutur teng tatwwâdhyâtmika pamasêha ng buddhi magêlêh.
Sapâjar ҫri Krêshnnamrêta gatinira n yogya pituhun.
7
“Tujuan saya datang kemari, tiada lain untuk memberi petuah kepada kalian semua yang sedang menderita dalam kesusahan dan kesedihan. Sebaiknya berusahalah padamkan api kesedihan itu dengan penuh kesadaran. Apa yang dikatakan Raja Kresna kepada kalian, Itu air amerta suci patut untuk diikuti.

8
Ikang prang lâwan sang mati tuhu paningkah Paҫupati.
Ri mûlanya n dewâsura malaga ngûnyâsêlur akol.
Paddâtyanteng ҫûraparimita silih Iwang silih arug.
Titih sor tang hyang meh aradina pêjah dening asura.

8
Soal perang dan mati sesungguhnya itu rencana Dewa Çiwa. Pada awalnya antara dewa-dewa dan para raksasa saling berseteru. Mereka saling menggempur. Kedua belah pihak saling memperlihatkan gagah berani tiada bandingnya. Akan tetapi dewa-dewa kalah oleh serangan para raksasa.
P u s t a k a  :
Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto
Kakawin Bharata-Yuddha, Bhratara – Jakarta 1968
Jumat, 111 Mei 2018  04:16 WIB
Drs. Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Bogor