Sabtu, 29 Februari 2020

"FUNGSI NOTASI DALAM KEHIDUPAN MUSIK" By Sumaryo L.E.

Blog Ki Slamet 42: Guru SMPIT Annur Cimande Menulis
Sabtu, 29 Febuari 2020 - 19.13 WIB
 
Belajar membaca notasi musik

 
Membaca notasi angka
Hampir semua remaja yang pernah sekolah, sedikit banyak dapat membaca notasi musik. Paling, mengerti bagaimana mempergunakannya. Yang dibiasakan dalam sekolah-sekolah umum adalah umum adalah membaca notasi musik yang mempergunakan angka ( systim solfa atau sistim Cheve ). Akhir-akhir ini, di beberapa sekolah sudah menggunakan pelajaran membaca paranada.
Sebetulnya belajar membaca notasi angka pun sama sukarnya atau sama mudahnya dengan belajar paranada. Masalahnya adalah soal kebiasaan. Orang yang dapat membaca paranada pun banyak yang kikuk menghadapi notasi angka, apalagi pada waktu memainkannya dengan alat musik.
Untuk memainkan alat musik, pada umumnya orang lebih mudah melakukannya kalau notasi dibuat dengan paranada. Sebab paranada secara teknis lebih banyak membantu para pemain alat musik untuk mengenakan nada-nada yang dibaca. Akan tetapi harus diingat, bahwa kepandaian membaca paranada belum tentu berarti orangnya musikal. Paranada hanyalah alat belaka, bukan musiknya itu sendiri. Alat yang menguntungkan dan praktis untuk mengembangkan bakat musikal seseorang. Dengan pengetahuan mengenai paranada, orang sedikit banyak dapat terjun ke dalam alam pikiran serta perasaan komponis. Sebaliknya orang yang tidak dapat membaca paranada, jangan dianggap kurang musikal daripada orang yang menguasai pengetahuan paranada.
Bahwasannya seorang yang musikal yang juga trampil membaca paranada, akan lebih cepat berkembang dalam memupuk bakat musikalnya, itu jelas. Perkenalan serta pengetahuan kehidupan musik di seluruh dunia akan lebih terbuka untuknya. Khususnya dalam menyelami apa yang terkandung dalam jiwa komponis, yang bersembunyi di belakang nada-nada dalam ciptan-ciptaannya.
Paranada sudah berabad-abad dipergunakan manusia, dengan perkembangannya melalui berbagai bentuk, sehingga sampai kepada bentuk yang sekarang ini. Dengan paranada, seorang komponis, secara musikal, ingin menyatakan secara tertulis apa yang terkandung dalam hatinya, dan sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat. Buah kreasinya diharapkan akan menjadi kegiatan para pemain musik, di samping menjadi obyek penikmatan musikal masyarakat.
Daya kreasi komponis dituliskan dalam bentuk paranada, meskipun tidak seluruh gelora musikalnya dapat dituliskan. Akan tetapi ciptaan musik yang ditulisnya, dalam batas-batas kemampuan segala tanda yang ada dalam paranada, diharapkan oleh komponis akan diikuti secermat mungkin oleh pemain musik sebagai hak ciptanya. Tentu saja dengan memberi kebebasan yang terbatas kepada penghidangnya. Notasinya seratus persen bersifat preskriptif. Pemain tidak tidak diberi kesempatan untuk menggunakan daya kreasinya sendiri. Pemain hanya diberi kesempatan “mencipta kembali” dengan kebebasan-kebebasan yang terbatas, sehingga hidangannya tidak menyimpang dari ide komponis.
Dalam suatu masyarakat yang mempergunakan notasi musik yang bersifat preskriptif, kreatifitas adalah memonopoli komponis. Dalam suatu masyarakat yang tidak mengenal tulisan musik yang preskriptif, atau yang tidak memiliki cara notasi musik samasekali, kreativitas lebih banyak dinyatakan oleh pemain-pemainnya. Pemain yang kreatip biasanya mencipta sebuah lagu secara improvisatoris, yang diambil alih oleh pemain-pemain lain dengan memberi hiasan-hiasan musikal menurut selera musika masing-masing. Pola komposisi yang asli biasanya tetap diperkembangkan, akan tetapi rakyat pada umumnya bebas untuk menambah atau menguranginya sesuai dengan seleranya. Pemikiran mengenai hak cipta perseorangan tidak disadari dan tidak dihiraukan. Di dalam perkembangan ciptaan demikian selanjutnya, masyarakat atau rakyat pada umumnya yang membentuk pernyataan musikal tadi. Demikianlah proses terciptanya musik rakyat. Seniman kreatip dalam masyarakat demikian adalah terutama pemain musik atau penyanyi dengan hidangan-hidangannnya yang biasanya penuh dengan tambahan hiasan-hiasan musikal disertai dengan perobahan melodi yang tidk banyak menyimpang dari pola melodi asli menurut selera tiap penyanyi.
Demikianlah pula umumnya yang kita alami dalam kehidupan musik tradisionil di Indonesia, dan mungkin di negeri-negeri Asia lainnya pun demikian pula halnya. Artis kreatip adalah terutama pemain atau penyanyi.
Musik kaeawitan Indonesia pun mengenal pula tulisan musik. Biasanya yang ditulis hanya balungannya atau tema pokoknya saja, dan tidak seluruh melodinya. Tulisan ini biasanya dikerjakan sebagai pencatatan mengenai dasar-dasar melodi yang sudah ada. Notasinya biasanya dipergunakan untuk mengingat-ingat perkembangan melodinya. Jadi, bersifat deskriptip. Akan tetapi tidak jarang pula, notasi demikian dipergunakan untuk menyajikan musik. Titinada yang dicatat sesuai dengan tema pokok lagu tetap harus diikuti, akan tetapi penyaji mempunyai kebebasan terbatas untuk ”menggarap” melodinya dengan hiasan-hiasan, yang merupakan ungkapan kreatip pemain atau penyanyi itu sendiri.
Dalam soal kebebasan mengadakan interpretasi, musik jazz lebih jelas lagi menunjukkan pemain atau penyaji Jazz sebagai artis yang kreatip. Pemain atau penyanyi Jazz lebih bebas daripada pemain Karawitan dalam menggarap melodi tertulis yang berasal dari komponi, asal tidak menyimpang dari pola harmonis yang asli.

—KSP —
Sabtu, 29 Februari 2020 – 15.39 WIB
REFERENSI :
Sumaryo L.E
“Komponis, Pemain Musik dan Publik”
Pustaka Jaya 1978

Rabu, 19 Februari 2020

ARJUNA DALAM EPOS MAHABHARATA 5 By Sri Guritno - Purnomo Soimun HP

Blog Ki Slamet 42: Wayang Islami
Rabu, 19 Febuari 2020-14.52 WIB

Wayag kulit Arjuna
F.   ARJUNA MENGHUKUM DIRI
Ki Slamet 42
Diceritakan setelah beberapa lama para Pandhawa berada di negara Pancala beritanya tersebar sampai ke negara Astina. Hal ini telah membuat Duryudana semakin panas hatinya. Di benaknya terpikir bahwa setelah Pandhawa menjadi menantu Prabu Drupada, pada akhirnya akan memujudkan persatuan yang kokoh antara bangsa Yudawa sehingga dapat memperkokoh Pandhawa. Oleh sebab itu, sebelum persatuan itu dapat terwujud, Duryudana semakin giat berupaya membinasakan para Pandhawa. Ketika itu Karna mengusulkan agar para Pandhawa diajak berperang, tetapi ditolak ditolak mentah-mentah oleh sesepuh Astina, seperti Bisma, Drona dan Widura. Bahkan mereka menasehati Drestarastra agar separuh negara Astina diberikan kepada para Pandhawa. Sang Drestarastra dapat menerima tersebut sehingga para Pandhawa dipanggil ke Astina dan diberi wilayah di padang Kani Dawaprasta.

Setelah padang tersebut dibuka akhirnya menjadi sebuah negara yang dipimpin oleh Yudhistira, yaitu negara Indraprasta. Hari demi hari negara tersebut menjadi semakin besar dan makmur. Para Pandhawa dan rakyatnya hidup tentram tanpa kekurangan suatu apapun. Apalagi setelah perkawinan antara Pandhawa dengan Dewi Drupadi telah dikaruniai lima orang putra, di antaranya; Dewi Drupadi dengan Yudhistira melahirkan seorang putra bernama Srutakarna, Dewi Drupadi dengan Bima melahirkan seorang putra bernama Srutasena, Dewi Drupadi dengan Arjuna melahirkan seorang putra bernama Pratiwindya, Dewi Drupadi dengan Nakula melahirkan seorang putra bernama Satanika, sedangkan Dewi Drupadi dengan Sadewa melahirkan seorang putra bernama Prasani.

Pada suatu hari ada seorang Brahmana menghadap Arjuna. Sang Brahmana meaporkan bahwa semua ternaknya telah hilang dicuri orang. Oleh karena itu, brahmana tersebut memohon jaminan keamanan di tempat kediamannya.

Mendapat laporan seperti itu, Arjuna merasa malu dan ingin segera menangkap pencurunya. Untuk itu ia mengambil senjata yang tersimpan di dalam kamar. Ketika Arjuna masuk ke kamarnya, tanpa disengaja ia telah melihat Dewi Drupadi sedang duduk-duduk bersama Yudhistira sehingga pikirannya menjadi bingung. Apakah ia akan menepati kewajibannya sebagai seorang kesatria atau tidak. Jika harus menepati maka ia harus menggangu saudaranya yang sedang duduk bersama Dewi Drupadi untuk mengambil senjatanya, dengan konsekwensi harus hidup di hutan selama sepuluh tahun. Namun sebagai seorang kesatria, ia merasa malu jika tidak dapat menjamin ketentraman negaranya.

Akhirnya Arjuna memutuskan untuk lebih memberatkan kedudukannya sebagai seorang kesatria. Oleh karena itu, Arjuna pun segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil senjatanya, lalu ke luar mencari pencuri hewan itu. Tak lama kemudian pencuri  itu dapat ditangkapnya dan diperintahkan untuk mengembalikan hewan hasil curiannya itu kepada sang brahmana.

Setelah selesai menjalankan tugasnya sebagai seorang kesatria, Arjuna lalu menghadap Yudhistira, ia menceritakan tentang semua hal ihwalnya ketika masuk kamar. Namun demikian, Arjuna tetap merasa telah mendengar janji yang telah disepakati oleh para Pandhawa. Oleh karena itu, Arjuna lalu memohon izin kepada Yudhistira telah memberi ampun karena perbuatan yang telah dilakukan adiknya itu dipaksa oleh keadaan, akan tetapi Arjuna tetap memegang teguh pada janjinya, ia tetap berangkat hidup di hutan.

Konon kepergian Arjuna ke hutan dengan menyeberangi banyak danau dan sungai, menembus hutan belantara, dan akhirnya sampailah ia di mata air sungai Gangga. Di sini, Arjuna memutuskan untuk mendirikan gubuk. Setelah gubuk selesai dibuat, Arjuna mandi di sungai Gangga. Ketika sedang mandi, tiba-yiba kakinya seperti merasa ada yang menariknya sampai jauh ke dasar sungai. Lalu Arjun pun berkata,

“Siapakah engkau, aku ini berada di mana?”  tanya Arjuna.

“Nama saya Dewi Ulupi, putri raja Naga, paduka berada di istana Kaurwa. Hamba ini masih perawan dan jatuh cinta kepada paduka, karena itu sudilah kiranya paduka memperistri hamba!” jawab Dewi Ulupi.

“Ketahuilah Ulupi! Aku sudah bersumpah untuk hidup sebagai brahmacari, tidak kawin selama dua belas tahun. Aku akan memenuhi permintaanmu, tetapi katakanlah kepadaku, bagaimana agar permintaanmu itu dapat aku penuhi tetapi tidak melanggar sumpahku?” tanya Arjuna menjawab keinginan Dewi Ulupi.

“Janji paduka untuk wadat itu kan hanya kepada Dewi Drupadi. Jadi sumpah paduka tidak akan tuan langgar jika berkasih-kasihan kepada hamba. Tolongah hamba atau hamba akan membunuh diri!”  jawab Dewi Ulupi setengah memaksa Arjuna.

Sambil tetap memikirkan darma dalam hatinya, Arjuna memenuhi keinginan Dewi Ulupi. Malam itu Arjuna pun menghabiskan waktunya di istana Kaurwa, dan pada keesokan harinya Arjuna mendapat hadiah dari Dewi Ulupi berupa jimat yang menyebabkan dirinya dapat mengalahkan makhluk lautan.

Selanjutnya, Arjuna pun kembali melanjuttkan petualangannya di hutan. Setelah beberapa hari melakukan perjalanan, sampailah ia di kerajaan Manipura yang letaknya berada di bukit Himalaya. Di sini Arjuna kawin denganCitranggada dan tinggal di kerajaan tersebut selama kurang lebih tiga tahun. Ketika Citranggada melahirkan seorang putra, Arjuna memeluknya dengan lemah lembut, lalu melanjutkan pengembaraannya kembali.

Alkisah Arjuna sampai di pesisir laut selatan, sebuah kawasan yang tidak  berpenghuni. Tempat itu amatlah sunyi, maka timbul keinginan Arjuna untuk mencari tahu. Diperoleh informasi bahwa tempat tersebut memang sangat angker, dan barang siapa yang berani mandi di danau yang berada di kawasan tersebut akan disantap oleh lima ekor buaya raksasa.

Mendengar berita tersebuat membuat Arjuna menjadi penasaran ingin membuktikan kebenaran berita tersebut dan ia pun segera menceburkan dirinya ke danau tersebut. tak berapa lama ia menceburkan ke danau itu, tiba-tiba seekor buaya besar menyambarnya. Dan terjadilah pertempuran antara Arjuna dengan buaya raksasa. Makhluk tersebut dapat diseret oleh Arjuna sampai ke tepian danau yang tiba-tiba buaya raksasa itu berubah menjadi seorang gadis cantik rupawan yang berhiaskan permata kedewaan. Gadis itu mendekati Arjuna lalu berkata,

“Ketahuilah paduka! Hamba adalah Yaga, seorang bidadari yang dicintai oleh Kuwera, dewa kekayaan. Oleh karena hamba dan keempat saudara hamba menggoda seorang brahmana, maka kami dihukum di danau ini selama seratus tahun. Atas hukuman itu, kami memohon ampunan, dan akhirnya diberi ampunan, kami akan menjadi buaya sampai seorang yang berbudi luhur menyeret kami ke daratan. Demikian penuturan dari Yaga dengan harapan Arjuna mau membebaskan Yaga dan keempat saudaranya.

Akhirnya Arjuna pun membebaskan Yaga dan keempat saudaranya. Setelah itu Arjuna kembali ke Manipura menjenguk anak dan istrinya untuk terakhir kalinya.nya

—KSP 42—
Selasa, 18 Februari 2020 – 12.10 WIB 
R E F E R E N S I :
Sri Guritno – Purnomo Soimun HP,
KARAKTER TOKOH PEWAYANGAN MAHABHARATA
Proyek Pemanfaatan Kebudayaan
Direktorat Pemanfaatan Kebudayaan
Direktorat dan Tradisi dan Kepercayaan
Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembanga Budaya
Badan Pengembangan Budaya dan Pariwisata
Jakarta 2002

Minggu, 16 Februari 2020

ARJUNA DALAM EPOS MAHABHARATA 4 By Sri Guritno-Purnomo Soimun HP

Blog Ki Slamet 42: "Wayang Islami"
Senin, 17 Febuari 2020 - 05.50 WIB

Arjuna

Pandhawa
E.   ARJUNA MENGIKUTI SAYEMBARA DI PANCALA
Tidaklah diceritakan perjalanan Dewi Kunthi dan para Pendhawa, singkat cerita perjalanan mereka telah sampai di wilayah negara Pancala. Di samping jalan Dewi Kunthi dan putra-putranya (Pandhawa) sering bertemu dengan para Brahmana yang akan menyaksikan sayembara, yang diselenggarakan oleh Prabu Drupada untuk mengawinkan anak perempuannya yang bernama Dewi Kresna alias Dewi Drupadi.

Semakin dekat dengan ibukota Pancala. Mereka semakin sering bertemu dengan para Brahma. Tiba-tiba, tanpa diketahui dari mana asalnya. Sang Maharsi Wiyasa telah berdiri di hadapan Dewi Kunthi dan para Pandhawa. Mereka segera bersujud di kaki sang Maharsi satu persatu. Ketika itu Maharsi Wiyasa lalu berkata kepada para cucunya mengenai sayembara yang akan diselenggarakan oleh Prabu Drupada. Selanjutnya Maharsi Wiyasa langsung menghilang, sedang Dewi Kunthi dan para Pandhawa segera melanjutkan perjalanannya kembali, bersama-sama dengan para brahmana menuju kota Pancala.

Di kota Pancala, para Pandhawa sangat kagum melihat kekokohan benteng kota tersebut. setelah berputar-putar melihat keindahan kota, Dewi Kunthi dan putra-putranya mencari penginapan. Akgirnya mereka menumpang di rumah tukang pembuat gerabah yang bangunannya berdiding gedhek, beratapkan genteng. Ketika itu para Pandhawa menyamar sebagai seorang brahmana. Oleh karena ituselama mereka berada di negara Pancala tidak seorang pun mengira jika kelima brahmana tersebut sebenarnya para Pandhawa.

Diceritakan, walaupun tidak diucapkan dengan mulut, tetapi isi hati Prabu Drupada sebenarnya ingin mempunyai menantu sang Arjuna. Untuk itu sang Prabu memerintahkan pegawai istana untuk membuat busur yang sangat besar, harapannya agar dalam sayembara nanti tidak ada seorang pun yang mampu mengangkatnya, kecuali Arjuna. Di samping itu, sang Prabu juga memerintahkan membuat panggung. Di atas panggung itu terpasang sasaran yang nantinya nantinya harus dipanah oleh para peserta sayembara. Setelah semuanya siap, Prabu Drupada lalu mengumuman kepada khalayak ramaai yang isinya demikian,

“Barang siapa mampu merentangkan busur pusaka Pancala dan memanah sasaran di atas panggung, akan dikawingkan dengan putrinya Dewi Drupadi”.

Tidak sampai berganti bulan berita itu telah tersebar di berbagai negara. Pada hari pelaksanaan sayembara,banyaklah raja dan rajaputra di kota Pancala sampai tak dapat dihitung, sebagian besar di  antara mereka hendak mengikuti sayembara. Selain itu banyak pula para brahmana yang ingin menyaksikan jalannya sayembara. Para raja dan rajaputra yang hendak mengikuti sayembara duduknya dikelompokkan menjadi satu. Demikian pula para brahmana yang ingin menyaksikan jalannya sayembara, duduknya juga dikelompokkan menjadi satu. Para Pandhawa yang saat itu juga sudah datang berkumpul menjadi satu kelompok dengan para brahmana.

Sementara itu Prabu Drupada dan permaisurinya serta Rajaputri Dewi Drupadi duduk di panggung tempat upacara dilaksanakan. Sang Rajaputra Drestadyumna yang konon dilahirkan dari api sesaji dipercaya sang prabu untuk memimpin jalannya sayembara. Ketika itu, para raja dan rajaputra duduknya berurutan menunggu mendapat giliran untuk merentangkan busur untuk memanah sasaran yang telah ditentukan. Sudah banyak para raja dan rajaputra yang mendapat giliran, tetapi belum ada satu pun yang berhasil, bahkan merentangkan busurnya saja belum ada yang berhasil.

Kemudian tampil Karna, putra Dewa Matahari yang diambil anak angkat oleh Adirata. Dengan mudahnya busur itu diangkatnya, dan dengan mudah pula busur itu direntangkan. Ketika sedang mengarahkan anak panah ke sasaran, tiba-tiba Dewi Drupadi berseru,

“Saya tidak mau kawin dengan orang berasal dari kasta rendah”.

Mendengar seruan tersebut, Karna melempar senyum ke arah datangnya suara. Dengan perlahan Karna meletakkan busur yang ada di tangannya kemudian mundur secara diam-diam, tidak jadi mengikuti sayembara.

Berikutnya tampil Sisupala, seorang bangsawan yang mencoba gilirannya. Namun, busur itu tidak dapat diangkatnya. Demikian pula dengan Raja Jarasanda, Salya, dan Duryudana, mereka tidak mampu mengangkat busur itu.

Tatkala seorang brahmana muda yang tak lain adalah Arjuna tampil ke depan, ada sementara hadirin yang menatapnya dengan rasa gembira, tetapi ada pula yang merasa cemburu. Sementara itu reaksi para brahmana, begitu ada brahma muda yang tampil ke depan, pendapat mereka berbeda-beda. Ada yang mencelanya, tetapi ada pula yang mendukungnya dan memuji keberanian brahmana muda itu,

“Saudara-saudara para brahmana! Mari kita renungkan, bagaimana pendapat saudara-saudara, jika ada seorang brahmana muda yang sok berani mengikuti sayembara ini. brahmana itu tidak pernah menggunakan senjata, dan tidak pernah berperang. Mustahil ia mampu mengangkat busur yang sedemikian besarnya. Kalian semua melihatnya sendiri, Prabu Salaya yang tampil menggunakan berbagai jenis senjata dan kesaktiannya tidak diragukan lagi, tidak mampu merentangkan busur, pusaka Pancala. Apalagi seorang brahmana, pasti hanya akan menjadi bahan tertawaan para raja dan rajaputra yang hadir di sini. Oleh karena itu, sebelum terlanjur sebaiknya brahma muda itu kita ingatkan!” Demikian kata salah satu brahma yang tak menyetujui jika ada brahmana yang mengikuti sayembara itu. Akan tetapi ada pula kelompok brahmana yang mendukung lalu berkata,

“Wahai para brahmana yang terhormat! Kita tidak perlu merasa khawatir, tidak mungkin para raja dan rajaputra akan mencerca dan menertawakan brahmada muda itu, karena mereka sendiri juga tidak mampu mengangkt busur itu!”

Para brahmana yang duduknya tidak jauh  dari Pandhawa mereka turut memberi dukungan lalu berkata,

“Jangan khawatir, brahmana muda itu kelihatannya sangat tenang, santun dan jarang bicara. Perilakunya sangat sederhana, sangat beradab dan lengannya tampak sangat kuat, bagaikan belalai gajah. Jadi menurut pendapat kami, dia memang sakti mandraguna dan pantas jika mampu memenangkansayembara ini, ya biarkanlah brahmana muda itu mengikuti sayembara!”

Tanpa menghiraukan pembicaraan pembicaraan para brahmana, dengan langkah pasti brahmana muda itu berjalan mengitari busur sambil berdoa kepada Yang Maha Pengasih. Kemudian menundukkan kepalanya, memusatkan pikiran kepada Dewi Kresna. Dengan entengnya busur itu diangkatnya dan dengan cekatan merentangkan tali busurnya yang telah terpasang lima anak panah sekaligus.lepasnya kelima anak panah tersebut tepat mengenai sasaran yang telah ditentukan, sehingga tepuk tangan dan sorak sorai para brahmana menggema memecahkan kesunyian. Selanjutnya Drestdyumna menyatakan bahwa sayembara telah dimenangkan oleh brahmana muda itu sehingga berhak mendapatkan Rajaputri Drupadi.

Diceritakan, para raja dan rajaputra yang tidak berhasil memenangkan sayembara saling menaruh belas, tidak rela karena sang Rajaputri hanya direngkuh oleh orang yang tidak pantas. Tidak ketinggalan pula Kurawa yang dipelopori Duryudana, karena besarnya rasa dengki akhirnya bersama-sama para raja dan rajaputra menyebut Dewi Drupadi dari tangan brahma muda. Namun Bima yang pada waktu itu juga mengenakan pakaian brahmana, begitu melihat adiknya dikeroyok oleh para raja dan rajaputra, ia segera mencabut pohon beringin lalu menerjang musuh sehingga banyak yang lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Duryudana yang dapat mengenali bahwa brahmana itu sebenarnya Bima dan Arjuna, sangat gentar dan merasa heran karena Pandhawa yang konon telah dibinasakan sampai menjadi abu (peristiwa bale sigala-gala), ternyata masih hidup bahkan mampu mengundurkan para raja dan rajaputra yang mengeroyoknya.

Duryudana lalu memerintahkan Karna untuk merebut Dewi Drupadi dari tangan Brahmana muda itu yang tak lain adalah Arjuna. Dengan senang hati Karna segera mendatangi brahmana muda tersebut. Namun belum sampai di hadapan Nrahmana muda, Bima telah mencegatnya sambil mencerca,

“Hai anak kusir! Tidak berhak engkau bertempur dengan kesatria. Jika kamu ingin berperang, harus sama-sama anak kusir yang sama derajatnya. Untuk itu kamu jangan berkacak pinggang mau melawan adikku!”

Sebenarnya Karna sudah mengetahui dari Bathara Surya, bahwa dirinya anak sulung dari Dewi Kunthi. Jadi derajatnya juga kesatria sama dengan para Pandhawa dan Kurawa. Namun karena ia harus menyembunyikan rahasia dirinya, maka walaupun menerima cercaan yang sangat menyakitkan hati, ia tetap teguh menyimpan rahasia itu.

Kekecewaan hati sang Karna karena batal berperang dengan Arjuna, semakin menampar muka Duryudana. Namun karena merasa gentar dengan Bima dan Arjuna, Duryudana tidak dapat berbuat banyak sehingga Kurawa segera pulang ke Astina. Sungguh pun demikian, para Kurawa tetap tidak merasa jera untuk selalu berupaya mencelakakan para Pandhawa.

Setelah para raja dan rajaputra dapat dikalahkan Bima dan Arjuna, para Pandhawa segera kembali ke pondokkannya dengan didampingi oleh Dewi Drupadi.

Diceritakan Dewi Kunthi yang waktu itu sendirian di pondokan, merasa sangat was-was terhadap keadaan putra-putranya karena sudah menjelang senja belum jua kembali pulang. Sebentar-sebentar Dewi Kunthi melihat halaman, menanti-nanti kedatangan putra-putranya, Pandhawa. Dalam hatinya bertanya-tanya, ‘Ada aa gerangan putra-putraku ini, waktu sudah hampir malam akan tetapi mereka belum juga pulang, padahal biasanya sudah kembali dengan membawa hasil dari meminta-minta’.

Setelah lama dinanti-nanti tiada juga kunjung datang, Dewi Kunthi masuk ke dalam ‘senthong’ (kamar) menyalakan dian. Baru saja sang Dewi Kunthi masuk ke dalam senthong tiba-tiba Para Pandhawa datang. Arjuna memanggil-manggil ibunya hendak menyerahkan Dewi Drupadi. Ketika itu sang ibu Dewi Kunthi masih di dalam senthong sehingga belum tahu barang apa yang akan diseragkan putra-putranyanya. Perkiraannya putra-putranya akan menyerahkan makanan hasil meminta-minta seperti biasanya. Oleh karena itu dari dalam senthong sang Dewi Kunthi berkata,
“Barang yang akan kau serahkan kepadaku itu bagikanlah kepada saudara-saudaramu”.

Setelah berkata demikian, Dewi Kunthi keluar dari dalam senthong. Ketika mendengar penuturan putranya bahwa barang yang akan diserah kepadanya eorang gadis cantik, hasil dari memenangkan sayembara, Dewi Kunthi terkejut lalu berkata,

“Wah celaka! Aku dan putra-putraku akan berdosa besar jika apa yang sudah saya katakan tidak dilaksanakan”.  

Selanjutnya, Dewi Kunthi mengajak para Pandhawa dan Dewi Drupadi masuk ke rumah. Kemudian mereka bermusyawarah, agar semuanya tidak ada yang menanggung dosa, maka pada akhirnya dicapailah kata sepakat bahwa Dewi Drupadi bersuamikan kelima Panduputra.

Kresna, raja bangsa Yudawa dan Baladewa kakaknya, setelah mengetahui bahwa yang memenangkan sayembara adalah Arjuna yang menyamar sebagai brahmana, segera menemui para Pandhawa di padepokannya untuk mengucapkan selamat. Kresna menerangkan bahwa dirinya dan Baladewa masih saudara keturunan dengan para Pandhawa. Sejak saat itulah para Pandhawa mengetahui Kresna dan Baladewa masih saudara mereka.

Drestadyumnya pun datang ke pondokan para Pandhawa dengan cara sembunyi-sembunyi, karena ia diperintahkan Prabu Drupada untuk menyelidiki siapa sebenarnya brahmana muda itu. Tanpa sepengetahuan yang diselidiki, Drestadyumna akhirnya dapat mengetahui bahwa brahmana muda itu sebenarnya Arjuna. Untuk itu ia segera menghadap Prabu Drupada, melaporkan hasil penyelidikannya.

Setelah mendapat laporan bahwa brahmana muda itu Arjuna, Prabu Drupada sangat bersukacita karena memang Arjunalah yang diharapkan jdi menantunya. Dan, pada kesokan harinya, sang Prabu memanggil para Pandhawa ke istana Pancala. Setelah para Pandhawa menghadap, Prabu Drupada menghendaki agar pernikahan Arjuna dengan putrinya dilaksanakan di istana. Namun Arjuna menjawab bahwa sang Dewi telah menjadi isttri Pandhawa. Sang Prabu sangat terkejut mendengar pengakuan Arjuna, maka berkatalah Prabu Drupada,

“Ini sangat menyimpang dari kesopanan, saya tidak setuju”.

Ketika itu datanglah Maharsi Wiyasa, sang Maharsi lalu mengajak Prabu Drupada ke ruang dalam untuk memberi penjelasan terhadap permasalahan yang kini sedang dihadapinya. Kesudahannya, sang Prabu Drupada dapat menerima penjelasan Maharsi Wiyasa sehingga berlangsunglah pernikahan antara Dewi Drupadi dengan para Pandhawa di Istana Pancala.

Konon, setelah pernikahan itu berlangsung para Pandhawa mengadakan perjanjian. Tujuannya adalah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa mereka harus berganti-ganti mendekati Dewi Drupadi. Jika ada yang melihat Dewi Drupadi sedang duduk dengan salah seorang di antara kelima bersaudara itu di dalam kamar, kemudian salah satu di antara mereka ada yang melihatnya, harus membuang diri dalam hutan selama sepuluh tahun.

KSP 42—
Sabtu, 15 Februari 2020 – 12.47 WIB

R E F E R E N S I :
Sri Guritno – Purnomo Soimun HP,
KARAKTER TOKOH PEWAYANGAN MAHABARATA
Proyek Pemanfaatan Kebudayaan
Direktorat Tradisi dan Kepercayaan
Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Jakarta 2002