Jumat, 27 Desember 2019

Nikmah Sunardjo, dkk: "HIKAYAT WAYANG ARJUNA DAN PURUSARA"

Blog Ki Slamet 42: Wayang Islami
Sabtu, 28 Desember 2019-08.57 WIB
 
Image "Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara (Foto:SP)
Buku Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara
 “Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara” naskahnya hanya satu, tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Naskah ini berbahasa Melayu dialek Betawi. Bahasanya banyak dipengaruhi bahasa daerah, antara lain, bahasa Jawa dan Sunda.
Naskah “Hikayat Wayang Arjuna” mempunyai kolofon yang berbunyi seperti berikut “hari Sabtu, jam setenga tiga siang, berbetulan pada 21 Mei tahun almasehi 1897; Tahhun Jim akhir, berbetulan 20 Zulhijjah, Hijrah 1314”, sedangkan naskah “Hikayat Purusara” tidak berkolofon. Cerita hikayat ini berakhir pada waktu Purusara sedang tersesat, sedangkan “Hikayat Wayang Arjuna” ceritanya ceritanya selesai.
Kedua naskah ini rupanya saling berkaita isinya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dalam naskah “Hikayat Purusara” disebutkan Purusara yang membenci Sentanu itu kelak akan mendapatkan keturunan yang sifatnya sama seperti Sentanu, yaitu Arjuna. Sifat Sentanu yang mata keranjang itu memang diwariskan kepada Rajuna (Arjuna) dalam “Hikayat Wayang Arjuna”. Jadi, ramalan Batara Narada dalam “Hikayat Purusara” itu terbukti di dalam “Hikayat Wayang Arjuna”.
Hubungan kedua naskah itu ialah dalam “Hikayat Purusara”, tokoh Purusara selalu bertapa untuk mendapatkan keturunan yang sakti agar dapat menjadi raja yang besar. Keinginannya itu tercapai dalam “Hikayat Wayang Arjuna”. Tokoh Arjuna, salah satu keturunan Purusara sangat sakti. Rajuna dapat mengalahkan semua musuh-musuhnya, bahkan dewa yang tertinggi pun dapat dikalahkannya.
Persamaan yang terdapat di dalam kedua naskah itu ialah persamaan sifat antara Purusara dan Rajuna. Mereka suka bertapa dan mencari ilmu agar memperoleh kesaktian sehingga menjadi orang yang sakti mandraguna dan tidak terkalahkan. Mereka sama-sama bertapa sampai tidak sadarkan diri sehingga badannya dililit akar pohon dan kepalanya dijadikan sarang oleh burung. Bedanya, kepala Purusara dibuat sarang oleh burung prit, sedangkan kepala Rajuna dibuat sarang burung manyar dan semut api.
Kedudukan “HikayatWyang Arjuna” dan ‘Hikayat Purusara” ialah sebagai lakon carangan karena gubahan pujangga Indonesia. Selain gubahan pujangga Indonesia, lakon carangan juga berciri adanya unsur panakawan, yang merupakan unsur asli Indonesia. Perbedaan kedua naskah itu mengenai unsur panakawan ini, ialah pemunculan jumlah panakawannya. Dalam “Hikayat Purusara” panakawan yang muncul adalah, Lurah Semar, Garubug, dan Petruk; sedangkan “Hikayat Wayang Arjuna” memunculkan Lurah Srmar, Garubug, dan Petruk; Cerimis disebut sekali oleh penulis pada halaman pertama. Dalam “Hikayat Wayang Arjuna” muncul nama-nama tempat yang sampai sekarang kita kenal dan masih ada, seperti Lapangan Gambar dan Psar Baru. Jadi, lakon carangan ini ialah cerita yang memunyai nama tokoh-tokohnya sama dengan Mahabharata, sedangkan jalan ceritanya menyimpang.
Fungsi “Hikayat Wayang Arjuna” dan “Hikayat Purusara” sebagai media dakwah agama Islam karena dewa-dewa sebagai penguasa yang tertinggi sudah digantikan oleh Yang Mahakuasa, yang mengacu kepada Tuan Yang Maha Esa. Dalam cerita itu sudah jelas bahwa dewa-dewa yang tertinggi pun dapat dikalahkan oleh manusia sehingga menghapus kepercayaan bahwa dewalah penguasa yang tertinggi di dunia. Selain itu, beberapa kali naskah itu menyebut pada Yang Mahakuasa. Fungsi ini yang terlihat ialah sebagai hiburan yang tidak  membosankan karena ceritanya menarik, apalagi cerita “Hikayat Wayang Arjuna” yang bertemakan petualangan cinta Arjuna.
Fungsi panakawan dalam “Hikyat Wayang Arjuna”, dalam hal ini Semar, memberi petunjuk kepala Rajuna” (HW A: 130-131). Semar yang memutuskan bahwa Rajuna sudah hidup kembali dengan meludahi air sumur buatannya itu. Di sini terlihat bahwa panakawan itu berfungsi sebagai pembimbing dan pelindung Pandawa. Fungsi panakawan dalam “Hikayat Purusara” pun demikian juga; Semar membantu Purusara dari gangguan raksasa dan binatang yang ingin menggagalkan kedatangan Purusara di Gunnung Parasu atas permintaan Batara Guru. Semar pula yang membantu kelahiran anak Raramis di hutan dan membawanya ke negeri Wirata.

Beberapa amanat “Hikayat Wayang Arjuna” adalah:
1)           Jangan menceritakan keburukan saudara sendiri karena hal itu berarti akan menjelekkan diri sendiri; hal ini sama dengan epatah ‘menepuk air di dulang terpecik muka sendiri’;
2)           Jangan suka berburuk sangka  atau curiga karena sifat itu dapat mencelakakan diri ;
3)           Perbuatan yang kurang hati-hati dan percaya pengaduan orang lain akan mencelakakan diri sendiri;
4)           Segala  sesuatu apabila sudah ditakdirkan tetap akan terlaksana.

Tema “Hikayat Purusara ialah pencarian manusia sempurna, seperti yang dicita-citakan dewata. Dalam hikayat ini Purusara merupakan tokoh yang hampir menjadimanusia sempurna. Namun, seperti yang disampaikan oleh amanat cerita ini bahwa tidak mungkin ada manusia yang sempurna di dunia ini. purusara dengan segala keutuhannya, sebagai manusia tidak dapat lepas dari kesalahan, dan Purusara itu mau memaafkan kakaknya mengganggu istrinya. Dia juga mengutuk keturunan Sentanu dan keturunannya agar tidak pernah rukun dan damai. Amanat yang dapat terlihat dalam hikayat ini ialah orang tidak mudah untuk mencapai kemakmuran di dunia. Jadi, tidaklah mudah untuk mendapat apa yang dicita-citakan.
Transliterasi naskah kedua hikayat itu dilengkapi dengan daftar kata sukar sebagai lampiran yang dicantumkan setelah daftar pustaka untuk memudahkan orang memahami jalan ceritanya.

Pustaka
Nikmah Sunardjo, dkk
“Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010

Sabtu, 28 Desember 2019
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar