Sabtu, 23 November 2019

"IMU SIASAT PERANG DALAM KAKAWIN BHARATA YUDHA 2" By Prof. Dr. R.M. Sutjipto Wirjosuparto

Ki Slamet 42 Blog: "Wayang Islami"
Minggu, 24 November 2019 - 13.18 WIB

Disebabkan karena menyadur kakawin Bharata-Yudha menjadi Serat Braratayuda Jarwa, R. Ng. Jasadipura telah mengenal sejumlah banyak nama susunan tentara yang dipakai oleh keluarga Pandawa dan Kurawa, cerita Menak dalam bahasa Jawa baru itu ditambah dengan bagian-bagian yang berbentuk serangan secara frontal dan tahu bagaimana caranya menjebak musuh yang menurut cerita itu dilancarkan oleh pasukan-pasukan yang bersembunyi dan siasat ini sangat populer di antara rakyat biasa dengan istilah ‘baris pendem’.  Contoh-contoh lain dapat diambil dari ‘Babad Ganti’ yang mengisahkan perjuangan Mangkubumi yang dikemudian hari bergelar Hamenku Buwana I  melawan Belanda.  Kecuali disebutkan dalam Babad Ganti sendiri, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu seorang ahli  siasat perang, kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang Belanda juga mengakui, bahwa Pangeran Mangku Bumi itu sungguh-sungguh seorang “strateeg”, seperti yang ditunjukkan dalam pertempuran yang terjadi di tepi sungai Bogowonto.
Contoh-contoh tentang keahlian bangsa Indonesia untuk berperang dapat ditambahkan lagi dengan mengambil tokoh ‘Pangeran Diponegoro’ yang menggoncangkan kedudukan Pemerintah kolonial Belanda.  Apabila pada waktu dikejar oleh tentara Belanda Pangeran diponegoro itu dapat menyelamatkan diri dengan jalan menceburkan diri ke dalam sungai Progo yang sedang tinggi airnya, tetapi dapat memilih bagian yang dangkal, sedangkan tentara Belanda masuk ke dalam sungai ini di bagian-bagian yang dalam, sehingga terpaksa berenang dengan kuda-kudanya sehingga tidak dapat mengejar  kuda yang dinaiki oleh Pangeran Diponegoro, ini disebabkan karena Pangeran Diponegoro mengenal setiap jengkal tanah yang dipergunakan sebagai ajang bertempur melawan Belanda.  Kemenangan ini juga disebabkan karena pasukan-pasukan Pangeran Diponegoro disuruh menyusun barisan pendem dan dapat menghalau serangan tentara Belanda yang mengejar Pangeran Diponegoro.
Bahwa bangsa Indonesia telah mengenal siasat perang yang juga dimiliki oleh negara-negara besar hal ini telah telah dibuktikan ketika  Sultan Agung bersama tentaranya menyerang benteng kota mengepung Batavia tahun 1628 dengan menggali parit-parit untuk mendekati obyek yang akan direbut dan hal tersebut tentunya telah mengejutkan para serdadu kompeni Belanda.  Berita lainnya yang menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia pada abad 17 telah mempunyai organisasi ketentaraan yang disusun rapih dengan tujuan memudahkan pelaksanaan siasat perang disebutkan oleh Dr. De Helen, seorang utusan Belanda yang mengunjungi Karta, ibukota Mataram pada zaman Sultan Agung.  Dikatakan, bahwa apabila ‘gong’ yang ada di empat penjuru di kota ‘Karta’ dipukul, dalam waktu setengah hari dapat dikumpulkan sebanyak 200.000 orang.
Dari berita-berita itu cukuplah terbukti, bahwa rakyat Indonesia pada waktu lampau memang telah mengenal ilmu siasat perang.  Hanya saja tidak diketemukan kitab-kitan yang menguraikan ilmu ini secara metodis dan sistematis.  Seperti telah dikatakan di atas, seandainya dapat diketemukan berita-beritanya, berita-berita itu ada terselip dalam kitab kesusasteraan Indonesia kuno.  Salah satu buah kesusasteraan Indonesia kuno yang sedikit agak metodis membicarakan siasat perang frontal yang disebut ‘wyuha’, ialah kitab ‘Kakawin Bharata-Yuddha’.
Menurut kesusteraan India kuno, kitab ‘Arthasastra karya Kauttilya’ menyebutkan beberapa macam wyuha, antara lain ialah :
1.            Ddanddda wyuha, susunan tentara seperti bentuk alat pemukul,
2.            Bhoga wyuha, susunan tentara seperti ular,
3.            Mannddala wyuha, susunan tentara seperti bentuk lingkaran,
4.            Asamhata wyuha, susunan tentara yang bagian-bagiannya terpisah-pisah,
5.            Pradara wyuha, susunan tentara penggempur musuh,
6.            Ddrddhaka wyuha, susunan tentara dengan sayap dan lambung tertarik ke belakang,
7.            Asahya wyuha, susunan tentara yang tak bisa ditembus,
8.            Garudda wyuha, susunan tentara seperti burung garuda,
9.            Sanjaya wyuha, susunan tentara untuk mencapai kemenangan dan berbentuk busur,
10.        Wijaya wyuha, susunan tentara menyerupai busur dengan bagian busur depan yang menjorok ke muka,
11.        Sthulakarna wyuha, bentuk susunan tentara yang menyerupai telinga besar (karna sthula),
12.        Wiҫalawijaya wyǔha, bentuk susunan tentara yang disebut kemenangan mutlak; susunannya sama dengan sthulakarnna, hanya saja bagian depan disusun dua kali lebih kuat dari sthulakarnna wyuha’
13.        Camǔmukha  wyǔha, bentuk susunan tentara dengan bentuk 2 sayap yang saling berhadapan muka dengan musuh (dalam bahasa sansekerta, camǔ berarti satu kesatuan perang),
14.        Jhashãsya wyǔha, bentuk susunan tentara seperti  camǔmuka, hanya saja sayapnya ditarik ke belakang (jhashãsya berarti muka ikan),
15.        Sǔimukha wyǔha, bentuk susunan tentara yang berujung (muka (mukha) seperti jarum (sǔci)
16.        walaya wyǔha, susunan tentara seperti  Sǔimukha wyǔha, hanya ajabarisannya terdiri 2 lapisan,
17.        ajaya wyǔha, susunan tentara yang tidak terkalahkan,
18.        sarpasari wyǔha, susunan tentara seperti ular (sarpa) yang bergerak (sari),)
19.        gomǔtrika wyǔha, susunan tentara yang berbentuk arah terbuangnya air kencing (mǔtrika) sapi (go),
20.        syandana wyǔha, susunan tentara yang menyerupai kereta (syandana),
21.        godha wyǔha, susunan tentara yang menyerupai buaya (godha),
22.        wâripatantaka wyǔha, susunan tentara sama seperti syandana wyǔha, hanya semua pasukan terdiri dari barisan gajah, kuda dan kereta perang,
23.        Sarwatomukha wyǔha, susunan tentara yang berbentuk lingkaran, sehingga pengertian sayap, lambung dan bagian depan tidak ada lagi; sarwato dari kata sarwata yang berarti seluruh, sedangkan mukha berarti arah,
24.        Sarwatabhadra wyǔha, susunan tentara yang serba (sarwata) menguntungkan (bhadra),
25.        Ashttanika wyǔha, susunan tentara yang terdiri dari 8 divisi ( assatt atau assashttanika berarti delapan)
26.        Wajra wyǔha, susunan tentara menyerupai petir (wajra) dan terdiri dari 5 divisi yang disusun terpisah-pisah satu dari yang lain,
27.        Udyâ wyǔha, susunan tentara menyerupai taman (udyânaka) yang juga disebut kâkapadi wyǔha, artinya susunan yang berbentuk kaki (padi berarti berkaki) burung kaka-tua (kâka) dengan ketentuan bahwa susunan tentara ini terdiri 4 divisi,
28.        Ardhacandrika wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit, juga disebut ardhacandra wyǔha ; ditentukan bahwa susunan tentara ini berdasarkan atas 3 divisi,
29.        Karkâttakaҫrênggi wyǔha, susunan tentara yang berbentukkepala (ҫrêngga) udang (karkâttaka),
30.        Artisa wyǔha, susunan tentara yang serba menang (arista) dengan susunan garis depan yang ditempati oleh barisan kereta perang, barisan gajah, sedang barisan kuda menempati garis belakang,
31.        Acala wyǔha, susunan tentara yang tidak bergerak, ialah suatu susunan tentara dengan   menempatkan barisan infanteri, barisan gajah, barisan kuda dan barisan kereta perang satu di belakang yang lain,
32.        Ҫyena wyǔha, susunan tentara sama dengan garudda eyǔha,
33.        Apratihata wyǔha, susunan tentara yang tidak dapat dilawan (pratihata berarti melawan sedangkan ‘a’ berarti tidak) dengan ketentuan bahwa barisan gajah, barisan kuda, barisan kereta perang dan barisan infanteri ditempatkan satu di belakang yang lain,
34.        Capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur
35.        Madhya capa wyǔha, susunan tentara yang berbentuk busur dengan inti kekuatan dibagian tengah.
Sebaliknya, di dalam kitab Kamandaka,  salah  satu kitab dari kesusateraan Jawa kuno disebutkan 8 macam wyǔha, ialah :
1.            Garudda wyǔha (atau byuha), susunan tentara yang berbentuk garuda,
2.            Singha wyǔha, susunan tentara yang berbentuk singa,
3.            Makara wyǔha,  susunan tentara yang berbentuk makara (udang)
4.            Cakra wyǔha, susunan tentara yang berbentuk cakram,
5.            Padma wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bunga seroja,
6.            Wukir sagara wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bukit dan samudera,
7.            Ardhanacandra  wyǔha, susunan tentara yang berbentuk bulan sabit,
8.            Wajratikshnna  wyǔha, susunan tentara yang berbentuk wajra atau petir yang tajam.
Di dalam kakawin Bhârata-Yudha disebutkan 10 macam wyǔha, ialah :
1.            Wukir sagara wyǔha (terdapat dalam transkripsi kakawin bharata-Yudha Pupuh (X dan XL  2)
2.            Wajratikshnna (Pupuh X  11)
3.            Kagapati wyǔha (Pupuh XII  6)
4.            Gajendramatta atau gajamatta wyǔha (Pupuh XIII  13)
5.            Cakra wyǔha (Pupuh XIII 22 dan XV  21)
6.            Makara  wyǔha ( XIII  24 dan XXVII 2 )
7.            Sǔcimukha wyǔha dalam Pupuh XV  21)
8.            Padma  wyǔha  (Dalam Pupuh XV 22)
9.            Ardhanacandra wyǔha  (Dalam Pupuh XXVI  5)
10.        Kânanja wyǔha  (Dalam Pupuh XL  2)
Ketika perang besar antara keluarga Kurawa dan Padawa dimulai, tentara Kurawa mengambil susunan tentara wukir sagara.  Raja-raja takluk, kerajaan Hastina yang berkendaraan gajah dan kuda merupakan karang laut yang serba kokoh dan kuat, sedangkan serangan prajurit yang bergelombang itu merupakan gelombang samudera yang tiadak ada henti-hentinya.  Susunan tentara ini memerlukan memerlukan sejumlah prajurit yang banyak, bertempur dalam massa yang besar dan memiliki dinamika dan daya tempur yang tinggi, hal tersebut sebagaimana diceritakan dalam Pupuh X  17, yang menyatakan bahwa satu kereta perang diperkuat oleh 10 ekor gajah, sedangkan masing-masing gajah diperkuat oleh 10 ekor kuda dan seekor kuda diperkuat oleh 10 orang prajurit.  Massa yang banyak dengan kuda dan gajah itu menjadi bukit yang kokoh. 
Sebaliknya dalam permulaan perang ini menurut Pupuh X, 11 keluarga Pandawa mengambil susunan tentara yang disebut ‘wajratikshnna wyǔha’, artinya petir yang tajam.  Bima, Arjuna dan Srikandi merupakan ujung petir yang tajam, sedangkan putera-putera Wirata, Uttara dan Sangka, bersama-sama Setyaki serta Drestajumena memimpin pertahanan di belakang.  Yudhistira bersama-sama dengan raja lainnya, — tentunya yang dimaksud ialah Kresna, Nakula dan Sadewa bersama-sama dengan Sweta —, dalam Pupuh X  11 itu dikatakan ada di barisan tengah.  Susunan tentara yang disebutkan dalam kakawin Bharata-Yudha ini berbeda dengan apa yang disebutkan dalam serat Bratayuda Jarwa yang dipergunakan oleh J. Kats sebagai bahan penulisan bukunya.

Berikut adalah beberapa contoh susunan tentara dalam perang Bharata-Yudha antara Pandawa melawan Kurawa :
Gambar A. Wajratiksnna Wyǔha dan Wukir Sagara Wyǔha


Keterangan gambar A. :
Keluarga Pandawa menggunakan siasat perang  ‘Wajratiksnna wyuha’ dengan susunan tentara sebagai berikut :
1.            Bhima (ujung depan). 
2.            Srikandi (ujung depan). 
3.            Arjuna (ujung depan). 
4.            Yudhistira  (tengah). 
5.            Kresna (tengah). 
6.            Sweta (garis belakang). 
7.            Sangka (garis belakang). 
8.            Uttara (garis belang). 
9.            Setyaki (garis belakang). 
10.        Drestajumena (garis belakang sayap kanan.

I.             Sedangkan dari barisan Kurawa terdiri dari gajah dan kuda yang menyerupai karang laut (bukit). yang kompak, sedangkan,
II.     Terdiri dari pasukan darat yang secara bergelombang menuju ke depan.
Dari kedua susunan tentara yang dimiliki oleh keluarga Pandawa dan Kurawa itu dapat diketahui, bahwa kedua-duanya memiliki tenaga ofensif yang kuat.  Dalam kaitan ini dapat dikatakan, bahwa dalam kitab Bhismaparwa yang berbahasa Jawa kuno itu, susunan tentara keluarga Pandawa itu berlainan dengan apa yang disebutkan dalam kakawin Bhârata-Yudha.  Kecuali nama wyǔhanya tidaklah disebutkan.  Jika ditinjau dari sudut akulturasi Mpu Sêddah yang menciptakan kakawin ini mempunyai daya cipta sendiri dan tidak menjiplak begitu saja yang disebutkan dalam kitab Mahabhârata dalam bahasa Jawa kuno (saduran dari kitab Mahâbhârata dalam bahasa Sangsekerta) yang dijadikan dasar penyusunan cerita kakawin Bhârata-Yuddha tersebut.
Seperti diketahui, dalam permulaan perang itu barisan Pandawa menderita kekalahan besar, ialah dengan terbunuhnya Sweta yang menjadi panglima dan dua orang adiknya Sangka dan Uttara, sedangkan di pihak Kurawa adalah Rukmaratha anak dari raja Salya.  Oleh karena dengan adanya susunan tentara ‘wajratikshnna’ itu keluarga Pandawa menderita kekalahan.  Menurut Pupuh XII 5-7 dikatakan, bahwa setelah Drestajumena diangkat menjadi panglima, susunan tentara Pandawa diganti menjadi ‘Garuda wyǔha dan menurut Pupuh XII 8 diimbangi oleh tentara Kurawa.  Susunan tentara kedua pihak itu lebih tenang sifatnya, karena titik beratnya terlrtak pada aspek defensif, setelah terbukti bahwa dengan susunan tentara yang masing-masing berbentuk wukir sagara dan wajratikshnna itu yang bersifat ofensif keduannya menderita kekalahan dan kerugian besar.

BERSAMBUNG!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar