Rabu, 05 Desember 2012

WAYANG KLITHIK DI TENGAH HEGEMONI BUDAYA BARU Oleh Eko Wahyu Budi


Wayang Klithik
SUARA MERDEKA – SELASA, 27 NOV. 2012: Wayang merupakan sebuah warisan budaya Jawa, sejak masa Wali Songo hingga sekarang wayang masih digunakan sebagai media penyebaran Agama Islam . Konon wayang digunakan oleh Sunan Kali Jaga sebagai media menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa. Di Jawa tengah khususnya.

Keberadaan wayang di daerah Jawa mempunyai bentuk yang heterogen. Seperti halnya Wayang Kulit yang dibuat dari kulit, Wayang Suket yang terbuat dari rumput (suket) dan mulai dikenal masyarakat lewat dalangnya Slamet Gundono, juga Wayang Krucil atau Wayang Klithik yang keberadaannya hampir punah karena tergerus oleh budaya- budaya modern. Menurut akar sejarahnya, Wayang Krucil pertama kali diciptakan oleh Pangeran Pekik dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan Wayang Krucil.

Sejarah Wayang Klithik

Wayang ini dalam perkembangannya menggunakan bahan kayu pipih (dua dimensi-red) yang kemudian dikenal sebagai Wayang Klithik. Di daerah Jawa Tengah Wayang Klitik memiliki bentuk yang mirip dengan Wayang Gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Sedangkan, di Jawa Timur tokoh- tokohnya banyak yang menyerupai Wayang Purwa. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh rajanya Bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.

Cerita yang dipakai dalam Wayang Klithik umumnya mengambil dari zaman Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun, tidak menutup kemungkinan Wayang Krucil memakai cerita Wayang Purwa dan Wayang Menak, bahkan dari Babad Tanah Jawa sekalipun. Gamelan yang dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang ini amat sederhana, berlaras slendro dan berirama playon bangomati (srepegan). Namun, ada kalanya Wayang Klithik menggunakan gendhing-gendhing besar.

Adapun tokoh wayang Klithik atau Krucil antara lain. Damarwulan, Menakjingga, Layangseta, Layang Kumitir, Logender, Prabu Kencanawungu, Patih Udara, Wahita, Puyengan, Adipati Sindura, Menak Koncar, Ranggalawe, Buntaran, Watangan, Anjasmara, Banuwati, Panjiwulung, Sabdapalon, Nayagenggong, Jaka Sesuruh, Prabu brawijaya, Angkatbuta, Ongkotbuta, Dayun, Melik, Dewagung Walikrama, Dewagung Baudenda.

Wayang Klithik memiliki karakteristik sendiri di banding dengan jenis wayang yang lain yaitu menggunakan tembang pelok dan pada saat di tengah- tengah pertunjukan sering adanya dialog antara dalang, sinden, dan penabuh gamelan. Keunikan lain dari wayang Klithik adalah modelnya yang dua dimensi dan juga terbuat dari kayu kenanga. Wayang Klithik biasanya dipentaskan pada malam hari, maupun hari tertentu. Misalnya pada saat tradisi sedekah bumi, ataupun malam sura.

Tradisi Kuat

Daerah yang masih kerap mengadakan pagelaran Wayang Klithik adalah daerah Blora, tepatnya di Desa Janjang Kecamatan Jiken. Mengingat di Desa tersebut mempunyai tradisi yang masih kuat. Pagelaran Wayang Krucil di Desa tersebut umumnya dilakukan pada saat acara Khoul Mbah Janjang, maupun saat masyarakat yang mempunyai nazdar tertentu.

Banyak masyarakat Blora yang mengetahui hasil kebudayaan asli Jawa ini dikarenakan kurangnya kepedulian dan pemahaman yang konkret tentang hal ini, maka keberadaan Wayang Krucil sedikit demi sedikit terlupakan. Hal seperti itu secara tidak langsung akan membuat sebuah pendegradasian sebuah karya budaya lokal yang seharusnya kita sebagai masyarakat asli menjunjung tinggi hal tersebut. Selain terbatasnya peminat ataupun pemerhati, keterbatasan jumlah pengrajin dari Wayang Krucil itupun juga sangat memprihatinkan.

Perhatian dari pemerintah Blora pun kurang begitu maksimal. Kurangnya "nguri- nguri kabudayaan" dari pemerintah dan masyrakat di Blora pada umumnya akan menambah deretan penyiksaan terhadap hasil kebudayaan ini, yang pada akhirnya akan menjadikan hasil dari kebudayaan ini akan punah.

Dahulu saat era Wali Songo, wayang sangat populer. Tetapi saat ini, warisan budaya ini seperti tergeser dengan adanya kebudayaan-kebudayaan baru yang umumnya "dikatakan" modernisasi.
(Eko Wahyu Budi/CN32)

1 komentar:

  1. Perhatian dari pemerintah Blora nampaknya kurang begitu maksimal terhadap kesenian wayang. Kurangnya "nguri- nguri kabudayaan" dari pemerintah dan masyrakat di Blora pada umumnya akan menambah deretan penyiksaan terhadap hasil kebudayaan ini, yang pada akhirnya akan menjadikan kesenian wayang, khususnya wayang klithik ini akan punah.

    BalasHapus