Blok Ki Slamet 42 : "Wayang Islami"
Rabu, 12 Febuari 2020 - 02.47 WIB
Sebagai titah kesayangan para dewa,
Arjuna dan keempat saudaranya tidak mendapatkan kesulitan yang berarti dalam
menerima ajaran-ajaran yang diberikan oleh pamannya (Widura), sehingga mereka
tumbuh menjadi kesatria-kesatria yang pandai dan berbudi luhur. Para Pandhawa
itu sering kali juga memanfatkan waktunya untuk bermain-main dengan
saudara-saudara tuanya, yaitu Kurawa.
Rabu, 12 Febuari 2020 - 02.47 WIB
C.
ARJUNA
BERGURU KEPADA DRONA
Arjuna |
Pada suatu hari, Pandhawa dan Kurawa
tengah bermain bola di pinggiran kota Astina. Ketika mereka sedang asyik-asyiknya
bermain, tiba-tiba bola dan cincin sulung Pandhawa (Yudistira) jatuh ke dalam
sumur yang sangat dalam sehingga tidak dapat mengambilnya. Para Pandhawa dan
Kurawa hanya berkumpul kebingungan di sekitar sumur itu sembari memandang bola
dan cincin yang tampak bersinar dari dalamnya sumur itu.
Di tengah-tengah kebingungan mereka,
tiba-tiba muncullah seorang resi berkulit hitam, memandang para Pandhawa dan
Kurawa dengan tersenyum. Setelah sang Resi itu memperhatikan mereka dengan
seksama dan mengetahui duduk permasalahannya maka berkatalah ia,
“Hai, para taruna!
Kalian semuanya kan para kesatria, tetapi menghadapi pekerjaan yang mudah saja
tidak mampu menyelesaikan? Lalu apa yang nantinya yang akan kalian andalkan
untuk melindungi rakyat kecil dan para pertapa?”
Mendengar teguran yang bernada setengah mengejek
itu, mereka tidak memberi tanggapan tetapi justru saling pandang-memandang
dengan persaan malu. Ketika itu, sang Resi lalu melanjutkan perkataannya,
“Coba menyingkirlah
kalian semuanya, saya akan mengambil bola dan cincin dari dalam sumur itu.”
Setelah berkata demikian, sang Resi lalu
mengumpulkan rumput-rumput dan menganyamnya menjadi “sorong” diikat dengan tali
rumput lalu dimasukkan ke dalam sumur untuk menimba bla yang nampak mengapung.
Setelah tali ditarik, bola yang ada di dalam sumur itu tiba-tiba telah berada
di tangan sang Resi.
Menyaksikan cara sang Resi dalam mengambil
bola tersebut, para Kurawa bersorak-sorai kegirangan. Tidak lama kemudian, sang
Resi bersabda,
“Hai, para satria muda!
Perbuatan yang baru saja kalian saksikan itu disebut perbuatan dengan
menggunakan akal budi. Di samping itu, ada lagi yang disebut kesaktian.
Pengaruh kesaktian ini dapat menimbulkan kekuatan yang tidak dapat diterima
oleh akal budi. Coba kalian perhatikan panah yang saya pegang ini. panah ini
namanya Rodhadhedhali yang terlepas
dari busurnya melesat bagaikan kilat menyambar-nyambar di udara. Namun pada
akhirnya panah itu meluncur ke dalam sumur, mengambil cincin Yudistira dari
dasar sumur itu lalu menyerahkannya kepada sang Resi.
Begitu menyaksikan peristiwa yang dilihatnya
itu, para Kurawa menjadi semakin takjub. Mereka bertepuk tangan dan
bersorak-sorak kegirangan itu terdapat seorang bocah tampan yang tidak ikut
bergembira seperti teman-temannya. Ia justru menjauh dengan wajah muram
menampakkan rasa kesedihan. Sang Resi yang sejak awal memperhatikan gerak-gerik
bocah itu lalu menghampirinya sambil bertanya,
“Hai, bocah tampan!
Mengapa kamu tidak ikut bergembira seperti teman-temanmu yang lain?”
“Bagaimana saya
dapat ikut bergembira melihat kepandaian orang lain yang menakjubkan, padahal
saya sendiri tidak mampu melakukannya!”, jawab bocah itu.
“E... e... e...!
tajam sekali perasaanmu, nak! Coba katakan, siapa namu bocah tampan?” tanya sang Resi.
Anak
itu menjawab, “Nama saya Arjuna alias
Pamadya! Maaf, jika tidak keberatan izinkanlah saya bertanya! Apakah mungkin
saya dapat mempunyai kepandaian dan kesaktian seperti sang Resi?”
“Pertanyaanmu itu
sangat aneh! Apabila kamu mau mempelajarinya dengan tekun, mengapa tidak bisa?
Sebab semua kepandaian dan kesaktian itu bisa dimiliki, ya harus diusahakan
dengan belajar dan berlatih secara sungguh-sungguh. Jika semuanya itu dapat
kamu lakukan dengan baik, mungkin justru dapat melebihi kepandaiaku.” jawab
sang Resi.
“Jika demikian,
izinkanlah saya berguru kepada paduka, semoga paduka berkenan menerimanya. O... iya, jika tak keberatan saya juga ingin
bertanya, paduka ini siapa dan dari mana asalnya?”
“ Nama saya Resi
Kumbayana alias Drona. Tempat tinggal saya di Padepokan Sokalima. Jika memang
besar keinginanmu dan mantap tekadmu, saya tidak merasa keberatan menjadi
gurumu,” Jawab Resi Drona.
Permintaan Arjuna menjadi murid Drona
tersebut ternyata juga diikuti oleh keempat saudaranya, bahkan para Kurawa di
bawah pimpinan Duryudana pun juga ikut-ikutan ingin berguru kepada Drona.
Mendengar permintaan para Pandhawa dan Kurawa itu, Resi Drona hanya
menangguk-angguk sambil berkata-kata,
“Ya..., ya...jika
kalian semua ingin berguru kepadaku, saya tidak keberatan. Sekarang kalian
semua pulanglah dan mintalah izin kepada orang tua kalian. Jika memang
diizinkan, datanglah ke padepokanku, tempat tinggalku juga pantas untuk berguru
para kesatria.”
Konon para Pandhawa dan Kurawa lalu pulang
untuk meminta izin kepada orang tua mereka. Setelah mendapat izin, mereka
bersama-sama datang ke padepokan Sokalima. Sampai di tempat tujuan, mereka
disambut oleh Resi Drona dengan ramah. Mulai saat itulah Pandhawa dan Kurawa
menjadi murid Resi Drona. Namun sebelum mereka mendapat pelajaran dari sang
guru. Resi Drona ingin mengetahui kecerdasan para calon murid-muridnya. Untuk
itu sang Resi Drona bertanya kepada mereka,
“Wahai para siswaku
kesatria muda Pandhawa dan Kurawa! Apakah kalian semua mengerti penghormatan apa yang pantas diberikan oleh
seorang murid terhadap gurunya? Coba kalian renungkan sejenak sebelum menjawab
pertanyaanku ini”.
Para Kurawa yang kurang memperhatikan
pertanyaan sang guru, segera menjawab pertanyaan itu dengan jawaban
bermacam-macam. Mereka yakin akan kebenaran jawabannya bahwa penghormatan murid
terhadap seorang guru itu harus mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Namun
seberapa banyak/sedikitnya kebutuhan itu jelas sudah ditentukan. Oleh karena
itu, mereka hanya saling pandang memandang tidak segera memberi jawaban.
Sebaliknya, para Pandhawa pun masih
merenungkan pertanyaan gurunya itu. Setelah lama tidak ada yang memberi
jawaban, Arjuna memberanikan diri menjawab,
“Penghormatan
seorang murid terhadap gurunya, itu hanya besarnya tekad, melaksanakan semua
ajaran dan perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya.” Jawab Arjuna.
Begitu mendengar jawaban Arjuna, Resi Drona
merasa lega sambil tersenyum mengangguk-angguk, sedangkan Kurawa yang
menyaksikan sikap gurunya itu hanya terbengong sembari saling berpandangan.
Sungguhpun demikian, mereka semua tetap diterima sebagai murid Resi Drona
dengan tidak ada perbedaan, mereka diperlakukan sama. Adapun pelajaran yang
diberikan sang guru kepada murid-muridnya lebih diutamakan pada masalah
keprajuritan, seperti ketrampilan menggunakan berbagai macam senjata, tipu
muslihat perang, merusak barisan musuh, dan sebagainya. Resi Drona memang
menguasai semua pengetahuan tentang keprajuritan sehingga mendapat julukan
prajurit maharata yang ulung, artinya
bahwa ia seorang prajurit yang dapat memimpin barisan kereta kuda, barisan
gajah maupun daratan. Ketrampilannya menggunakan senjata kadewatan dan
keberaniannya memimpin barisan perang tidak berbeda dengan kemampuan Resi Bisma
dan Prabu Drupada, karena mereka memang sama-sama guru, yaitu Maharsi
Ramaparasu.
Tidak diceritakan sampai berapa bulan atau
berapa tahun lamanya para kesatria Pandhawa dan Kurawa berguru kepada Rsi
Drona, tahu-tahu sang guru telah merasacukup memberi pelajaran kepada
murid-muridnya. Untuk menambah rasa kedekatan antara guru dan murid, Resi Drona
lalu memerintahkan punakawannya untuk menyiapkan hidangan makan malam. Ketika
guru dan murid-muridnya sedang bersantap malam, hembusan angin yang keras
tiba-tiba memadamkan pelita yang meneranginya sehingga memaksa mereka bersantap
dalam kegelapan. Namun kejadian itu telah memberi inspirasi Arjuna untuk
berlatih memanah dalam kegelapan. Sejak saat itulah Arjuna berlatih memanah
pada malam hari. Oleh karena kemauannya yang besar, maka pada akhirnya Arjuna
menjadi seorang murid yang ahli dalam seni memanah, meskipun keadaan di
sekitarnya gelap gulita. Hal ini membuat Resi Drona merasa bangga sehingga
dirangkullah muridnya itu seraya berkata,
“Arjuna, aku
berjanji kepadamu bahwa tidak adaseorang pun di dunia ini yang mampu menandingi
keahlianmu sebagai seorang pemanah!”
Pada suatu hari, murid-murid Resi Drona,
atas izinnya melakukan perburuan binatang di hutan dengan disertai seekor
anjing. Dalam perburuan itu, anjing tersebut tersesat sampai jauh ke dalam
hutan yang lebat tempat Ekalaya – seorang pangeran dari Nisida – sedang
mengembara. Begitu mencium bau Ekalaya, anjing itu menyalak-nyalak keras
sekali. Namun dengan sigapnya Ekalaya segera merentangkan busurnya, kemudian
melepaskan tujuh anak panah sekaligus ke arah datangnya suara. Walaupun anjing
itu terlihat, tetapi tujuh anak panah yang menerobos kegelapan itu mengenai
moncong anjing tersebut sehingga terhentilah suara salakan anjing itu. Ketika
anjing itu kembalikepada tuannya, Arjuna merasa terkejut melihat moncong
anjingnya tersumbat oleh tujuh anak panah. Oleh karena itu, ia segera mencari
pemilik anak panah yang telah menyengsarakan anjingnya.
Dalam pencarian itu, Arjuna bertemu dengan
Ekalaya. Maka bertanyalah Arjuna kepada Ekalaya,
“Siapakah nama tuan?
apakah tujuh anak panah yang menancap di moncong anjing saya itu milik tuan?” tanya Arjuna.
“Nama saya Ekalaya
dari Nisida dan tujuh anak panah yang menancap di moncong itu memang milik
saya.” Jawab
Ekalaya.
“Lalu dari manakah
tuan belajar memanah?” tanya Arjuna lagi dengan rasa kagum.
“Guru saya bernama
Resi Kumbayana alias Drona dari Sokalima.” Jawab Ekalaya.
Setelah mereka berbincang-bincang, keduanya
bersepakat untuk mengadakan pertandingan memanah. Namun Arjuna ternyata tidak
dapat mengimbangi kepiawaian memanah Ekalaya sehingga harus mengakui
kekalahannya.
Menurut jalan ceritanya, Arjuna lalu menemui
gurunya dan berkata bahwaRsi Drona dalam mengajarkan ilmu memanahnya tidak
sepenuh hati dan pilih kasih. Padahal Resi Drona pernah berjanji bahwa
dirinyalah yang akan menjadi pemanah terpandai di dunia. Mendengar tuduhan
muridnya semacam itu, Resi Drona terpaku keheranan, walaupun sebenarnya semua
ilmu memanahnya telah diturunkan kepada Arjuna. Sungguhpun demikian, Arjuna
tetap menuduhnya dengan bukti yang tidak dapat disanggah lagi oleh gurunya.
Akhirnya Resi Drona lalu membimbing Arjuna
kembali ke hutan untuk menemui Ekalaya. Begitu melihat kedatangan sang Resi
yang selama ini dianggap sebagai gurunya, Ekalaya menyambutnya dengan sujud di
kaki Resi Drona seraya bersimpuh di tanah.
Dalam pertemuan antara guru dan murid itu,
Resi Drona akhirnya meminta Ekalaya menunjukkan kesetiaannya dengan bukti-bukti
yang nyata. Maka berkatalah Ekalaya kepada Resi Drona,
“Katakanlah, apa
permintaan guru kepada hamba ini? tiada daksina di dunia yang takkan hamba
berikan kepada guru yang terhormat.” Jawab Ekalaya meyakinkan gurunya.
“Baik, kalau begitu
berikan kepadaku ibu jari tangankananmu!” kata Resi Drona.
Tanpa merasa ragu sedikit pun dan dengan
senang hati Ekalaya memotong ibu jari tangan kanannya, kemudian menyerahkannya
kepada Resi Drona. Setelah kehilangan ibu jari tangan kanannya, ketrampilan
memanah Ekalaya sudah tidak seperti dahulu lagi sehingga Arjuna sudah tidak
merasa iri hati lagi.
Pada suatu hari Resi Drona mengumpulkan
semua murid-muridnya. Setelah semuanya berkumpul, sang Resi Drona berkata,
“Hai para siswaku
semuanya! Kalian sudah saya didik berbagai pengetahuan berperang dan
menggunakan berbagai jenis senjata, sehingga apabila sewaktu-waktu diminta
menjadi senapati perang tidak akan mengecewakan. Selain itu, masalah yang
berkait dengan tata cara memimpin kerajaan, menegakkan keadilan, dan mengasuh
rakyat kecil juga sudah saya ajarkan kepada kalian semuanya. Kini sudah tiba
saatnya saya harus mengetahui hasil pelajaran yang sudah kaian peroleh. Oleh
sebab itu, tunjukkanlah rasa baktimu terhadap guru. Musuhku yang sangat sombong
dan senang mempermalukan orang lain tanpa dosa, yakni Prabu Drupada
Pancalaradya dan pengikutnya tangkaplah dan bawalah ke hadapanku, tetapi
sekali-kali jangan kalian bunuh.”
Alkisah Resi Drona memerintahkan Duryudana
dan Karna untuk menangkap Drupada hidup-hidup. Akan tetapi, mereka gagal
melaksanakan tugas gurunya. Selanjutnya, Resi Drona mengirim Pandhawa dengan
misi yang sama. Pertempuran antara pasukan Pandhawa dengan pasukan
Drupadaberlangsung sangat seru. Namun pada akhrnya pasukan Drupada dapat
dikalahkan, sedangkan Drupada sendiri dapat ditangkap hidup-hidup oleh Arjuna,
kemudian diserahkan kepada guru Drona.
Konon, setelah para Pandhawa berhasil
melaksanakan tugas gurunya dengan baik dan telah dinyatakan selesai dalam
berguru mereka bersama-sama dengan para Kurawa kembali ke Astina. Mereka datang
ke Sokalima hanya kadang kala. Sungguhpun demikian, Resi Drona tetap dapat
memahami sifat-sifat dan kebiasaan yang dilakukan oleh para muridnya, sehingga
dibenaknya muncul pemikiran untuk memberikan kasih sayang sesuai dengan kesungguhan
dalam berguru dan jasa mereka masing-masing.
Arjuna, pengah Pandhawa dipandangnya sebagai
murid yang berbakti dan sangat setia kepada gurunya. Arjuna juga dipandang
sangat perhatian terhadap setiap ilmu yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu,
Resi Drona menganggapnya sebagai murid yang memiliki kelebihan jika
dibandingkan dengan murid-murid yang lainnya. perhatiannya terhadap semua ilmu
didasarkan atas rasa cinta sehingga setiap ilmu yang diajarkan oleh Resi Drona
betul-betul dapat dikuasai.
Pada waktu Resi Drona menyaksikan sepak
terjang Arjuna ketika menggempur pasukan Pancalaradya dan menangkap Drupada
hidup-hidup, Resi Drona sudah merasa kalah dengan kemampuan muridnya itu.
Kelebihan Arjuna adalah dengan menggunakan senjata panah, di mana sekali
merentangkan busur dapat melepaskan lima puluh anak panah sekaligus.
Pada suatu hari, Arjuna diminta gurunya
untuk menghadap seorang diri. Ketika ia menghadap, setiap tingkah laku dan
sopan santunnya selalu diperhatikan gurunya tanpa henti-hentinya. Sesungguhnya
keinginan Rsi Drona agar Arjuna menghadap seorang diri ini sudah lama
direncanakan. Akan tetapi, setelah berhadapan langsung, Arjuna tidak segeraa
diberi perintah, walaupun ia menunggu-nunggu cukup lama. Sebaliknya Resi Drona
justru menjadi bingung dalam memulai pembicaraan. Namun setelah menenangkan
pikirannya sejenak, sang guru tampak tersenyum sambil berkata,
“Hai Arjuna, murid
yang berbakti terhadap guru! Sepertinya hatimu agak terkejut karena saya panggil secara mendadak, seperti
mencari lengahnya saudara-saudaramu. Hatinya sendiri sebenarnya sangat berat
karena terpaksa harus menceritakan apa-apa yang mestinya tidak kamu inginkan”.
“Wahai sang guru!
Apa yang menjadi kemauan sang wipra pendita), sebaiknya segera guru katakan.
Sungguh, hamba akan melaksanakan.” Jawab Arjuna.
Jawab
sang guru,
“Baik . . . baik . .
. Arjuna! Sikap seperti itu memang sudah menjadi kewajiban seorang murid
terhadap gurunya. Ketahuilah Arjuna, tampaknya memang sudah menjadi kehendak
Tuhan bahwa kitaharus mengalami peristiwa yang mengerikan. Maka dari itu
sebisa-bisanya kita harus menyiapkan apa-apa yang bisa kita siapkan”.
Jawab
Arjuna,
“Wahai sang Wipra!
Mohon dimaafkan atas kebodohanku karena saya belum mengerti apa keinginan
paduka”.
“Ya karena bahayanya
peristiwa yang bakal terjadi dan absurdnya masalah yang harus saya katakan,
sampai susah untuk menjelaskan dengan kata-kata yang sederhana. Tetapi baiklah,
masalah ini akan saya jelaskan melalui cerita, coba perhatikanlah!”
“Saya mempunyai pusaka
berupa busur namanya Gandhewa. Busur
ini dahulu kepunyaan Bathara Surapati (Indra)dan mempunyai kekuatan, jika
digunakan dalam peperangan, dapat melepaskan panah sakti sampai beribu-ribu
bahkan beratus-ratus ribu tidak akan habis, menurut keinginan yang
menggunakannya. Busur ini dahulu berasal dari guru saya, seorang brahmana yang
sakti bernama Begawan Ramaparasu. Bisanya saya memiliki karena dari usahaku
yang pada waktu itu sang Begawan berkenan membagi-bagi saya menghadap sang
Begawan paling belakangan. Ketika ituBegawan Ramaparasu tinggal memegang dua
buah busur. Kedua busur itu, yang satu bernama Bargawa yang menyebabkan moksanya sang Begawan di dalam akhir
menjadi tertunda. Sedangkan busur yang kedua bernama Gandhewa yang kini saya miliki, yang seharusnya sudah tidak
diberikan lagi kepada siapa pun.
“ketahuilah Arjuna!
Setelah busur Gandhewa ini menjadi
milikku, sungguh, tidak ada seorang pun yang berhak menerima pusaka warisan
ini, kecuali anakku lanangHaswatama. Namun mengingat besarnya rasa kasih
sayangku kepadamu karena setia baktimu terhadap guru, maka busur Gandhewa ini terpaksa harus saya
serahkan kepadamu, tetapi dengan janji yang harus kamu laksanakan . . . . . . .
. “
“Sang guru yang saya
hormati! Perkenankanlah hamba memotong pembicaraan paduka, janji seperti apa
yang harus hamba laksakan, sudilah kiranya guru segera mengatakan.” Kata Arjuna.
“Arjuna, muridku
yang pandai dan berbudi luhur! Permintaanku yang kamu harus laksanakan itu,
apabila sampai pada saatnya nanti, kamu harus bersedia perang tanding melawan
saya.” Jawab Resi Drona.
“Aduh sang guru yang
bijaksana dan yang selalu saya hormati! Saya tidak sampai hati jika harus
melakukan keinginan guru. Bagaimana duduk permasalahannya sehingga guru
mempunyai keinginan seperti itu. Padahal kesetiaan dan bakti saya terhadap guru
itu benar-benar tulus, tidak terkotori oleh perbuatan yang munafik, apalagi
berkhianat.” Jawab Arjuna.
Tanggapan
sang guru, “Wahai Kesatria pahlawannya dunia, ya . . . , karena setia baktimu yang
timbul dari hati yang suci itu yang kuasa menggerakkan hati saya harus
menyayangimu melebihi kasih sayang yang saya berikan kepada anak laki-lakiku
sendiri. Namun mengenai janji yang kamu laksanakan itu, tentunya bukan yang
saya inginkan. Oleh karena itu, walaupun peristiwa ini nantinya harus terjadi
tetapi hatiku tetap masih sayang kepadamu.
Ya . . . . , itulah sebabnya pekerjaan yang saya harus jalani, saya
katakan absurd. Tetapi . . . , sudahlah! Tidak ada manfaatnya jika masslah ini
dipikirkan sampai sedih karena kehendak yang kuasa sudah menentukan demikian.
Kini yang harus dipikirkan adalah membenahi apa-apa yang harus dilakukan!”
Sang Arjuna yang sejak awal mendengarkan
sabda gurunya dengan serius, wajahnya menampakkan rasa sedih yang cukup
mendalam. Namun karena perintah sang guru itu dilandasi oleh rasa kasih sayang,
maka dengan berat hati Arjuna menyanggupinya. Setelah Arjuna menyanggupinya,
sang guru kemudian menyerahkan busur Gandhewa
kepada murid kesayangannya itu
—KSP 42—
Sabtu, 08 Februari
2020 – 15.06 WIB
R E F E R E N S I :
Sri Guritno – Purnomo Soimun HP,
KARAKTER TOKOH PEWAYANGAN MAHABARATA
Proyek Pemanfaatan Kebudayaan
Direktorat Tradisi dan Kepercayaan
Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Jakarta 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar