Inti ajaran
Asta Brata.
Raden Arjuno |
Ajaran Astabrata pada awalnya
merupakan ajaran yang diberikan olah Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut
terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang pada pupuh 27 Pankur, jumlah
bait 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan kekalahan Rahwana dan
kesedihan Wibisana. Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama sangat
dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu, namun
tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur olah panah Gunawijaya yang
dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di kaki
jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan. Rama menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan Rahwana yang dengan gagah
berani sebagai seorang raja yang gugur di medan perang bersama balatentaranya.
Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana.
Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa
yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang
disebut dengan Asthabrata.
Dalam lakon Wahyu Makutarama,
Prabu Rama menitis kepada Kresna untuk melestarikan Asta Brata dan
menurunkannya kepada Arjuna. Setelah itu, Asta Brata diturunkan oleh Arjuna
kepada Abimanyu dan diteruskan kepada Parikesit yang kemudian menjadi Raja. Asta Brata adalah simbol alam
semesta. Arti harfiahnya “delapan simbol alam”, tetapi sejatinya menyiratkan
keharmonisan sistem alam semesta. Pada hakikatnya kedelapan sifat tersebut
merupakan manifestasi keselarasan yang terdapat pada tata alam semesta yang
diciptakan Tuhan, dan manusia harus menyelaraskan diri dengan tata alam semesta kalau ingin selamat dan terhindar malapetaka. Bila
manusia, sebagai ciptaan Tuhan, bisa selaras dengan alam semesta, maka
selaraslah kehidupannya.
Delapan simbol
alam itu adalah: bumi, geni, banyu, angin, srengenge, bulan, lintang, dan awan.
Mengambil kedelapan simbol alam sebagai contoh, itu lah inti ajaran Asta Brata,
sebagai pedoman tingkah laku seorang raja, yang secara singkat dapat dirangkum
sebagai: “Dapat
memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan
tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat,
mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan
bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang
kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam
mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.”
Beberapa versi
rumusan Asta Brata
1.
Menurut
Yasadipura I ((1729-1803 M) dari keraton Surakarta:
“Asta Brata adalah delapan prinsip
kepemimpinan sosial yang meniru filosofi / sifat alam, yaitu:
a.
Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi)
Seperti halnya bumi, seorang pemimpin
berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia
mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan memberikan kepada siapa saja
tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan segalanya kepada rakyatnya, dia
tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.
b.
Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
Seperti sifat air, mengalir dari tinggi
ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang pemimpin harus bisa
menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya. Rakyat
akan merasa sejuk, nyaman, aman, dan tentram
bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin
dan rakyat adalah mitra kerja dalam membangun persada tercinta ini. Tanpa
rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin, tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada
pemimpin yang mampu melakukan tugas yang diembannya sendirian.
c.
Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin)
Seperti halnya sifat angin, dia ada di mana
saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua
strata/lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah diskriminatif
(membeda-bedakan).
d.
Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan)
Seperti
sifat bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati
rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak
menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena
aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.
e.
Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari)
Seperti sifat matahari yang memberi sinar
kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin
dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi atas masalah yang dihadapi
rakyatnya.
f.
Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra)
Seperti sifat lautan, luas tak bertepi,
setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari segala penjuru, dan
membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai. Bagi yang memandang
laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan ketenangan. Seorang
pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua
aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih sayang, dan pengertian
terhadap rakyatnya.
g.
Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung)
Seperti sifat gunung, yang teguh dan
kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan-kekuatan fisik dan psikis
serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya.
Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus memberikan sanksi. Dampak yang
ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang pemimpin diharapkan membawa
kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi yang dapat menyuburkan
tanah.
h.
Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api)
Seperti sifat api, energi positif seorang
pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya
mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan perlindungan
kepada rakyatnya.
2.
Menurut Serat
Aji Pamasa (Pedhalangan) karya Raden Ngabehi Rangga Warsita. Pemimpin dituntut
ngerti, ngrasa, dan nglakoni (Tri-Nga) 8 (delapan) watak alam. Hasta berarti
delapan, brata berarti laku atau watak.
a. Watak Surya atau srengenge (matahari); sareh sabareng
karsa, rereh ririh ing pangarah.
b. Watak Candra atau rembulan (Bulan);
noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing budi jatmika,
prabawa sreping bawana.
c. Watak Sudama atau lintang (Bintang); lana susila santosa,
pengkuh lan kengguh andriya. Nora lerenging ngubaya, datan lemeren ing karsa.
Pitayan tan samudana, setya tuhu ing wacana, asring umasung wasita. Sabda
pandhita ratu tan kena wola wali.
d. Watak Maruta
atau angin (Udara yang bergerak); teliti setiti ngati-ati, dhemen amariksa
tumindake punggawa kanthi cara alus.
e. Watak Mendhung atau mendhung (Awan hujan); bener
sajroning paring ganjaran, jejeg lan adil paring paukuman.
f. Watak Dahana atau geni atau latu (Api); dhemen reresik
regeding bawana, kang arungkut kababadan, kang apateng pinadhangan.
g. Watak Tirta atau banyu atau samodra (Air); tansah paring
pangapura, adil paramarta. Basa angenaki krama tumraping kawula.
h. Watak pratala atau bumi atau lemah (Tanah); tansah
adedana lan karem paring bebungah marang kawula.
3.
Menurut lakon
Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi (Prabu Kresna) kepada
Raden Arjuna, sebagai berikut:
a. “kapisan
bambege surya, tegese sareh ing karsa, derenging pangolah nora daya-daya
kasembadan kang sinedya. Prabawane maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang
kena soroting Hyang Surya nora daya-daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape
ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga
dadya sarana karaharjaning sagung dumadi.
b. Kapindho
hambege candra yaiku rembulan, tegese tansah amadhangi madyaning pepeteng,
sunare hangengsemake, lakune bisa amet prana sumehing netya alusing budi
anawuraken raras rum sumarambah marang saisining bawana.
c. Katelu
hambeging kartika, tegese tansah dadya pepasrening ngantariksa madyaning ratri.
Lakune dadya panengeraning mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora kengguhan,
puguh ing karsa pitaya tanpa samudana, wekasan dadya pandam pandom keblating
sagung dumadi.
d. Kaping pate
hameging hima, tegese hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning riris, kang
akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda midana
ing guntur wasesa, gebyaring lidhah sayekti minangka pratandha; bilih lamun ala
antuk pidana, yen becik antuk nugraha.
e. Kalima
ambeging maruta, werdine tansah sumarambah nyrambahi sagung gumelar; lakune
titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik kabeh
winengku ing maruta.
f. Kaping nem
hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas
sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.
g. Kasapta
hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing
samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya
pikukuh hamimbuhi santosa.
h. Kaping wolu
hambeging bantala, werdine ila legawa ing driya; mulus agewang hambege para
wadul. Danane hanggeganjar myang kawula kang labuh myang hanggulawenthah.
Nilai dan
Teladan Ajaran Asta Brata
a. Relevansi Asta Brata dengan ajaran serupa di dunia
Internasional.
Ada banyak rumusan Asta Brata.
Bahkan, pernah dijadikan pelajaran wajib di Lembaga Ketahanan Nasional
(Lemhanas). Apakah ajaran ini bersifat Universal,
dalam arti tidak hanya dihayati bangsa Indonesia saja? Ternyata, memang benar. Ajaran Asta Brata bersifat Universal, dikenal pula
di belahan dunia yang lain, walau pun berbeda sebutan dan rumusannya. Berupa
apa sifat ajaran Universalnya?
Yaitu, bahwa
manusia harus hidup selaras dengan alam.
Di Negeri
China, Korea, dan Jepang dikenal “Fengshui” (harfiahnya Angin dan Air), yang
berlandaskan teori lima proses: Logam, Kayu, Tanah, Air, dan Api.
Di anak benua India, dikenal pula Teori 5 Unsur: Api, Tanah, Air, Udara
(Angin) dan Ruang.
Mengapa hanya lima? Berarti ajaran Asta Brata lebih lengkap? Ternyata, tidak sesederhana itu.
Perhatikan, adakah unsur “Ruang” dalam ajaran Asta Brata? Tanpa ruang, di manakah unsur-unsur
alam itu berada? Artinya, tidak semua
yang terlihat berbeda itu benar-benar berbeda. Perluaslah wawasan kita untuk
bisa melihat, bahwa ada kesamaan di antara perbedaan.
b. Esensi Makna Asta Brata
Asta Brata bukan hanya berlaku
bagi para pemimpin saja. Setiap manusia, seyogyanya mengamalkannya, dalam arti
“hidup selaras dengan alam”, dan “menjalankan peran yang diembannya, sehingga
memberi manfaat bagi sesama”.
Seorang pemimpin yang tidak mampu
melaksanakan Asta Brata bagai raja tanpa mahkota. Sebaliknya, rakyat jelata
yang dalam hidupnya mampu melaksanakan Asta Brata, berarti ia adalah rakyat
jelata yang bermahkota, dialah manusia yang luhur budi pekertinya. “Dapat
memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan
tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat,
mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan
bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang
kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam
mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.”( http://nusadwipa.blogspot.com ) SP091257
Tidak ada komentar:
Posting Komentar