Blog Ki Slamet 42 : "Wayang Islami"
Kamis, 13 Febuari 2020 - 11.01 WIB
Setelah keturunan darah kuru (Pandhawa dan Kurawa) menamatkan pendidikannya di padepokan Sokalima, mereka kembali menghabiskan masa mudanya di negara Astina. Konon, keberadaan para Pandhawa ini sangat membuat kekhawatiran para Kurawa. Hal ini karena para Pandhuputra itu telah tumbuh menjadi kesatria-kesatria yang pandai dan mumpuni, sehingga dikhawatirkan akan menjadi penghalang besar bagi para Kurawa dalam melaksanakan niatnya untuk tetap mempertahankan negara Astina, yang sekarang ini di bawah kekuasaan ayah para Kurawa (Destarastra). Oleh karena itu, mereka selalu berusaha untuk mencelakakan para Pandhawa dengan berbagai cara.
Kamis, 13 Febuari 2020 - 11.01 WIB
D.
ARJUNA
MENDAPAT AJI PANGELMUNAN
Ki Slamet 42 |
Setelah keturunan darah kuru (Pandhawa dan Kurawa) menamatkan pendidikannya di padepokan Sokalima, mereka kembali menghabiskan masa mudanya di negara Astina. Konon, keberadaan para Pandhawa ini sangat membuat kekhawatiran para Kurawa. Hal ini karena para Pandhuputra itu telah tumbuh menjadi kesatria-kesatria yang pandai dan mumpuni, sehingga dikhawatirkan akan menjadi penghalang besar bagi para Kurawa dalam melaksanakan niatnya untuk tetap mempertahankan negara Astina, yang sekarang ini di bawah kekuasaan ayah para Kurawa (Destarastra). Oleh karena itu, mereka selalu berusaha untuk mencelakakan para Pandhawa dengan berbagai cara.
Dalam lakon Bale Sigala-gala misalnya, lakon ini menceritakan usaha para Kurawa
untuk membunuh para Pandhawa beserta ibunya (Dewi Kunthi) dalam suatu perjamuan
agung. Namun berkat nasehat Widura, mereka dapat menyelamatkan diri melalui
lubang yang dibuat oleh Kanana (abdi Widura). Setelah dapat menyelamatkan diri,
mereka lalu menyeberangi sungai Gangga, mengembara keluar masuk hutan tanpa tujuan.
Dalam pengembaraannya itu, mereka didatangi
oleh Maharsi Wiyasa. Setelah Dewi Kunthi dan putra-putranya memberi
penghormatan kepada orang tua itu, sang Maharsi lalu berkata,
“Hai para cucuku, bebentengnya para kesatria
darah bharata! Sebenarnya saya sudah mengetahui bahwa keadaan yang kini sedang
kamu alami karena perbuatan Duryudana. Pesan saya kepada kalian, semua
perjalanan hidup yang kini kamu alami, sekali-kali jangan sampai menjadikan
kecil hati kalian. Ketahuilah! Semua peristiwa yang sudah kalian alami dan yang
bakal kalian alammi itu nantinya merrupakan jalan menuju kemuliaan. Oleh sebab
itu,, apa saja yang bakal kalian alami selanjutnya terimalah dengan tulus
ikhlas, jangan mengeluh. Selain itu, saya sarankan kalian semua pergilah ke
Ekacakra. Mudah-mudahan kalian di sana dapat memperoleh jalan menerima belas
ksihan daeri dewa!”
Setelah berkata demikian, Maharsi Wiyasa
lalu menghilang dari hadapan mereka. Konon, para Pandhawa dan Dewi Kunthi lalu
pergi ke Ekacakra. Di sana, mereka menumpang di kediaman seorang brahmana yang
pekerjaannya sebagai pembuat gerbah. Setelah lama di Ekacakra, maka atas
anjuran kakeknya Maharsi Wiyasa, Dewi Kunthi dan para Pandhawa melanjutkan
pengembaraannya ke negara Pancala untuk menambah pengalaman hidupnya. Ketika
hari menjelang malam, saat mereka melakukan perjalanan ke negara Pancala,
ketika perjalanan mereka baru sampai di tepi sungai Gangga, dan pada waktu itu
Arjuna berjalan sendiri di muka dengan membara obor untuk menerangi jalan, agar
jika ada binatang buas menyingkir. Tiba-tiba para Pandhawa dan Dewi Kunthi
bertemu dengan raja raksasa duduk di atas di atas kereta, menghalangi
perjalanan mereka. Raksasa itumerentangkan busur dengan panah siap di tali
busurnya yang tampak sangat menyeramkan.
“Hai manusia! Apakah
kalian sudah bosan hidup, berani-beraninya kalian melakukan perjalanan pada
senja hari, saatnya para gandarwa dan raksasa bercengkerama bersuka ria?
Manusia boleh melakukan perjalanan untuk menyelesaikan keperluannya selain di
waktu senja. Jika ada manusia yang berjalan pada sore hari, ia pasti akan
terkena “sambikala” (bencana), salah-salah bisa hilang nyawa”.
“Hai manusia yang
berpiran kerdil! Jika kamu belum bosan hidup segeralah menyingkir dari tempat
ini. Ketahuilah! Aku ini Maharaja Anggaraparna, raja raksasa yang sakti
mandraguna. Oleh karena itu hutan ini pun bernama hutan Aggaraparna, sesuai
dengan namaku. Hutan sepanjang sungai Gangga ini memang tempat tinggalku, dan
menjadi wilayah kekuasaanku. Makanya namanya sama dengan namaku. Para dewa
sekalipun tidak boleh seenaknya sendiri menginjak hutan ini, apallagi manusia.
Oleh karena itu, jika kalian belum bosan hidup, cepat pergilah dari hadapanku.”
Kata
Anggaraparna dengan pongahnya.
Sikap pongah dan kata-katanya itu telah
membuat membuat panas hati Arjuna sehingga seketika itu juga ia menjawab dengan
suara yang keras,
“Hai kamu
Anggaraparna! Ketahuilah, makanya saya berani menginjak hutan ini, tanpa peduli
itu waktu, pagi, siang, sore atau malam hari, karena saya yakin dan percaya
dengan kekuatan saya dan mampu melawan siapa saja yang berani merintangi
perjalanan kami. Aku dan semua saudara-saudaraku ini sama sekali tiada takut
dengan perkataanmu yang sombong itu”.
“Hai kamu raksasa
busuk! Saya sudah tahu bahwa hulu sungai Gangga ini berada di puncak Himalaya,
berjumlah tujuh yang pada akhirnya menyatu kembali. ketujuh sungai itu adalah
sungai Gangga, Yamuna, Saraswat, Witastha, Sarayu, Gomati, dan Gandhaki.
Barangsiapa yang dapat minum dari ketujuhsungai itu, semua dosa-dosanya akan
terbebas”.
“Hai kamu,
Anggaraparna, ketahuilah! Sungai yang suci ini ada di dalam kaswargannamanya Wetarani, sungai itu tidak boleh diseberangi oleh
manusia yang mempunyai dosa. Saya mengetahui hal ini dari kakek saya, Maharsi
Wiyasa”.
“Hai, kamu raksana
dungu! Atas dasar apa kamu berani-beraninya melarang para Pandhawa menginjak
hutan ini? walaupun saya dan saudara-saudara saya semua mandi di sungai Gangga
sekalipun, kamu tidak berhak melarangnya. Kehendak hatiku, aku harus menyauk
air kali Bhagirati ini, yang dapat menjadi saranan menebus dosa. Siapa saja
yang ingin menghalang-halangi keinginanku untuk menyauk air sungai ini pasti
saya lawan.” Jawab
Arjuna.
Setelah Sang Gandarwaraja Anggaraparna
mendengar jawaban Arjuna seperti itu, kekuatannya bagaikan dijajaki. Untuk ituia segera merentangkan busu dan
melepaskannya kepada para Pandhawa. Lepasnya panah dari tali busur Anggaraparna
bagaikan jatuhnya hujan yang tiada henti-hentinya. Namun tidak ada satu panah
pun yang dapat mengenai para Pandhawa karena berhasil ditangkis oleh Arjuna
dengan baik.
“”Hai, Gandarwaraja!
Ternyata panah-panah yang kamu lepaskan itu
tidak satu pun yang mengenai mengenaiku dan saudara-saudaraku. Sekarang
rasakanlah balasanku, berhati-hatilah! Karena panah yang akan saya lepaskan ini
bernama Bramastra, berasal dari
kadewatan tempatnya para dewata. Pada awalnya panah sakti ini berasal dari Sang
Hyang Wrespati, gurunya Bathara Indra, ratunya para dewa. Sang Hyang Wrespati
diberikan kepada Maharsi Bharadwaja, yang kemudian diberikan lagi kepada
Maharsi Agniwesa. Dari Maharsi Agniwesa diberikan kepada guruku Resi Drona, dan
akhirnya diberikan kepada saya.
Setelah sang Arjuna selesai berbicara, panah
Brahmastra melesat dari busurnya bagaikan kilat dan mengenai kereta
Gandarwaraja Anggaraparna. Kereta itu hancur lebur berantakan menjadi abu.
Walau badan Anggaraparna tidak terkena tetapi karena saktinya panah tersebut,
Anggaraparna terpental jauh dan pingsan.
Begitu mengetahui Anggaraparna jatuh
pingsan, sang Arjuna segera memburunya danmelaraknya di hadapan
saudara-saudarnya. Istri sang Anggaraparna yaitu Gandarwi Kumbinasi, setelah
mengetahui suaminya dilarak oleh sang Arjuna, segera menghadap Yudhistira
seraya berkata,
“Aduh tuan yang
mulia! Mohon belas kasih paduka, sudilah kiranya memberi maaf kepada suami
hamba, jangan sampai suami hamba dibunuh. Jika paduka tidak mengabulkan
permintaan hamba, bunuhlah kami bersama-sama!”
“Wahai tuan yang
mulia! Hamba menghadap paduka ini untuk memohon belas kasih paduka, sudilah
kiranya melepaskan suami hamba. Seberapa besar kesalahan suami hamba hamba
mohon paduka berkenan memberi maaf.”
Sang Yudhistira yang bersifat penyabar, pemurah,
dan pemaaf, begitu mendengar permintaan
Gandarwi Kumbinasi, hatinya merasa iba dan sangat kasihan kepada raseksi
tersebut. oleh karena itu, ia lalu berkata kepada adiknya Arjuna,
“Dinda Arjuna! Pria
yang sudah kalah perang dan sudah tak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan lagi,
istrinya wajib melindunginya agar suaminya dapat hidup dan meminta maaf atas
segala kesalahannya. Untuk itu musuhmu yang sudah tidak berdaya itu
lepaskanlah.”
Setelah mendapat
perintah Yudhistira, Arjuna lalu melepaskan Gandarwaraja sambil berkata,
“Hai Anggaraparna,
ketahuilah! Oleh karena perintah saudara tuaku maka kamu saya maafkan dan tidak
akan saya bunuh.”
“Oleh karena hamba
sudah paduka kalahkan, maka hamba tidak akan menggunakan nama Anggaraparna
lagi. Hamba akan menggunakan nama Cetrarata, yang artinya kereta yang serba
bersinar.” Jawab
Anggaraparna lalu melanjutkan kata-katanya,
“Duh sang Arjuna! Jika paduka berkenan, hamba
akan memberi “wejangan” pelajaran ilmu gaib Aji Pangelmunan, yaitu mantera yang menyebabkan manusia bisa
menghilang yang umumnya hanya dimiliki oleh para gandarwa. Aji Pangelmunan yang akan hamba persembahkan kepada paduka ini
namanya Aji Caksuci. Aji ini berasal
dari Bathara Manu, diwejangkan kepada Bathara Soma. Dari Bathara Soma
diwejangkan kepada Bathara Wiswawasu, kemudian diwejangkan kepada hamba.”
“Duhai Arjuna,
mustikanya kesatria pemberani, ketahuilah! Manusia akan dapat memiliki aji
pangelmunan Cakasuci, jika ia mampu melakukan “tapa brata” bersemedi yang
sangat berat. Tapa berdiri dengan satu kaki, sedangkan kaki yang satunya
digantung. Lamanya hingga enam bulan. Namun, aji pangelmunan yang akan hamba
persembahkan ini tanpa persyaratan apapun . selain itu hamba juga akan
mempersembahkan Turangga kepada
paduka sesaudara. Turangga ini
asanya dari kahyangan para gandarwa yang larinya sangat cepat dan selalu dapat
membuat gembira yang menaiki, karena dapat sampai di mana saja sesuai dengan
kehendak yang menaiki.”
“Aduh, sang
Gandarwaraja! Apabila pemberian turanggamu itu untuk membalas jasaku karena
telah memaafka dan melepaskanmu dari kematian, saya tidak mau menerimanya karena
memberi pertolongan kepada orang lain itu memang sudah menjadi dharmanya
seorang kesatria.” Demikian
kata Arjuna kepada Gandarwaraja. Akan tetapi Gadarwaraja tetap berkata kepada
Arjuna,
“Wahai harimaunya
kesatria darah Bharata! Agar persembahan hamba tidak bertentangan dengan
dharmanya kesatria dan tidak menyebabkan hutang-piutang, maka berilah saya
senjata paduka yang sakti untuk menukar turangga
yang akan hamba persembahkan kepada paduka sesaudara.” Jawab Gandarwaraja.
“”Gandarwaraja!
Turangga pemberianmu akan saya terima dengan senang hati. sebagai gantinya
senjata yang saya pegang ini akan saya serahkan kepadamu. Harapanku,
mudah-mudahan kamu akan tetap menjadi mitraku yang karib untuk selama-lamanya.”
Demikian jawab Arjuna dengan penuh rasa
persahabatan yang tulus.
“Sungguh mulia hati
paduka, tetapi sayang paduka sekeluarga tidak disertai oleh brahmana sebagai
penunjuk jalan agar para kesatria tidak keleru dalam melangkah dan selalu
menjunjung tinggi dharmanya. Hal tersebut
sebagai penunjuk jalan dan guru yang tak lepas dari budi dan kebijakan
dan yang memahami isi kitab Weda dan Prana.” Demikian pesan Gandarwaraja kepada
Arjuna dan saudara-saudaranya. Sejenak kemudian Gandarwaraja melanjutkan
melanjutkan kata-katanya,
“Ketahuilah Raden!
Tidak jauh dari hutan ini ada sebuah padepokan Utacaka. Padepokan tersebut
ditempati oleh Maharsi Domya, adiknya Resi Dewala. Hamba sangat setuju jika
paduka sesaudara memanfaatkan Maharsi Domya sebagai penunjuk jalan.” Demikian saran Gandarwaraja.
Sang Arjuna sangat gembira mendengar ucapan
Gandarwaraja, sehingga segera ia pun
memberikan senjatanya sebagai penukar dengan turangga yang akan dipersembahkan
kepada para Pandhawa. Selanjutnya Arjuna berkata,
“Oh, pembesarnya
para gandarwa! Jika demikian Turangga persembahanmu itu jangan diberikan
sekarang. Kelak, apabila ada keperluan akan saya minta. Sekarang izinkanlah
kami melanjutkan perjalanan, semoga di lain waktu kita dapat bertemu lagi”.
Setelah sang Arjuna berkata demikian, Dewi
Kunthi dan para Pandhawa segera memohon diri untuk melanjutkan perjalanannya
untuk mencari padepokan Utacaka milik Maharsi Domya. Tidak lama kemudian para
Pandhawa pun sampai di padepokan Utacaka. Di sana mereka diterima dengan senang
hati oleh Maharsi Domya. Setelah sang Maharsi memberi anugerah doa dan mantra
kepada para Pandhawa, Dewi Kunthi dan para Pandhawa segera mohon diri untuk
melanjutkan perjalanannya ke Negara Pancala dengan diantar oleh Maharsi Domya.
—KSP 42—
Kamis, 13 Februari
2020 – 06.24 WIB
R E F E R E N S I :
Sri Guritno – Purnomo Soimun HP,
KARAKTER TOKOH PEWAYANGAN MAHABARATA
Proyek Pemanfaatan Kebudayaan
Direktorat Tradisi dan Kepercayaan
Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya
Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata
Jakarta 2002
Casinon casino, roulette casino and welcome bonus - drmcd
BalasHapusCasinon Casino Online Games, roulette casino and welcome bonus. 토토 사이트 코드 The Casinon 제주 출장마사지 Casino Online is an 춘천 출장샵 amazing gambling 시흥 출장마사지 destination 강릉 출장샵 in the