Selasa, 31 Desember 2019

"HIKAYAT PURASARA 1" By Nikmah Sunadjo, dkk

Blog Ki Slamet 42 : Wayang Islami
Rabu, 01 Januari 2010 - 05.00 WIB

Image "Purasara" (Foto:Google)

A.     Uraian Naskah

1.      Sumber Naskah.
Berdasarkan katalogus van Ronkel (1909:29), katalogus susunan Amir Sutaarga dan kawan-kawan (1972:13-15), dan katalogus susunan Josep H. Howard (1966:64) ternyata naskah “Hikayat Purusara” ini hanya ada satu di Musium Nasional Jakarta.
Buku-buku yang membicarakan pembicaraan tentang naskah-naskah wayang dalam bahasa Melayu (Ikram, 1975:(2);12-18). Namun, rupanya “Hikayat Purasara” ini pernah dibuat skripsi oleh Khalid Husein dalam mencapai gelar sarjana sastra Universitas Indonesia, tetapi transliterasinya tidak ditemui. Khalid membicarakan cerita Purasara dalam perbandingan dengan Mahabharata India (Roy, 1884), Adiparwa versi Jawa Kuno (Lembaga Adat Istiadat dan Cerita Rakyat, 1968). Pakem Wayang Purwa (Probohardjojo, 1961), dan naskah Hikayat Pandu atau Hikayat Asal Mula Wayang yang bernomor M1.241.

2.      Deskripsi Naskah.
Nomor naskah    :   M1. 178
Ukuran naskah    :   33.3 x 21 cm. 10 – 17 baris, 150 halaman
Tulisan naskah     :   huruf Arab Melayu, jelas dan baik
Keadaan naskah  :   kertasnya gak kotor dan sudah dilaminasi karena lapuk
Kolofon                 :   tidak ada
Catatan lain          :   Naskah ini tertulis pada kertas folio bergaris.
Enam belas  gambar wayang berwarna merah muda, biru,  kuning, hitam, hijau, cokelat dan ungu/violet.
Gambar-gambar itu adalah tokoh-tokoh yang diceritakan   dalam    naskah itu, seperti Batara Narada, Semar, Garubug, Petruk, Sentanu, Purasara, Dewi Raramis, dan Raden Perbata. Berdasarkan water mark, seperti Jobst&Co dan Een Draaft Maakt Mast, yang terdapat pada kertas itu Russel Jones mengemukakan pendapatnya bahwa hikayat ini kemungkinan terkadang lebih kurang akhir abad ke-19 atau permulaan abad ke-20 (Husein, 1972: 1-2). Selain itu, berdasarkan penelitian Khalid Husein disebutkan bahwa naskah ini ditulis oleh orang yang sama dengan naskah “Hikayat Asal Mula Wayang” (M: 241), yaitu Muhammad Bakri bin Sofyan bin Usman bin Fadli dan ditulis sesudah tanggal 6 Agustus 1890 (Husein, 1972:4).

Pokok-pokok isi ceritanya sebagai berikut:
1 - 9  : Sangyang Tunggal menciptakan manusia untuk memerintah di dunia.   Ciptaannya diberi nama Sangkara dan disuruh turun ke dunia bersama seorang bidadari yang bernama Dewi Asmayawati.
                  Sangyang Tunggal pun turun merupakan panakawan Semar untuk memelihara dan menemaninya di negeri Suktadurja. Semar menciptakan Garubuk. Petruk, dan Gareng sebagai temannya mengabdi kepada Raja Sang Sangkara.
10 - 16  : Sangkara berputra tiga orang laki-laki, yaitu Sentanu kawin dengan Putri Sriwati, Sambirawa, dan Purasara. Sangkara dan istrinya kembali ke kayangan, sedangkan Purasara pergi bertapa dan Sentanu memerintah sebagai raja.
16 - 23 : Purasara pergi bertapa ditemani Semar, Garubug, Petruk, dan Gareng. Sangyang Punggung menyuruh empat orang batara untuk menggagalkan maksud Purasara bertapa di atas Gunung Parasu karena ia takut tersaingi oleh Purasara. Namun, keempat batara yang merupakan diri sebagai raksasa itu gagal dan kembali ke kayangan.
23 - 28    :  Purasara mendapat godaan lagi dari empat batara yang menjelma sebagai binatang. Namun, keempat batara itu pun gagal pula sehingga Purasara berhasil sampai di puncak gunung dan bertapa di atas sebuah batu putih. Semar dan anak-anaknya sambil berkebun.
28 - 35  :  Sentanu berputra seorang laki-laki bernama Raden Perbatasari, sedangkan Purasara sangat khusuk tapanya sehingga dapat mengeluarkan sinar dari badannya memancar ke kayangan sehingga warga kayangan banyak yang sakit. Batara Guru, Batara Narada, dan para bidadari menggoda dan membangunkannya tak juga berhasil. Purasara terbangun oleh suara anak burung prit yang bersarang di kepalanya karena selalu ribut sehingga burung itu kena sumpahnya.
35 – 37  :  Purusara pergi bersama panakawannya meninggalkan pertapaan sehingga kayangan pun aman kembali dan bidadari semuanya sembuh seperti sedia kala.
37 – 42  :    Negeri Wirata yang diperintah Bagawan Wangsapati dan istrinya Wargapati mempunyai anak Dewi Raramis. Dewi Raramis mempunyai penyakit, badannya berbau amis sehingga ayahnya menyuruhnya untuk menjadi penganak perahu dengan upah mengobati penyakitnya bersama kedua dayangnya.
42 – 53  :    Purasara bertemu dengan Dewi Raramis dan berhasil mengobatinya dengan bantuan Semar sehingga sembuh, lalu mereka pun pulang ke negeri Wirata.
53 – 60  :    Purasara dan istrinya meninggalkan negeri Wirata kembali ke ke Suktadirja. Ketika Dewi Raramis sedang mengandung, Purasara pergi meninggalkan Negeri Suktadirja untuk bertapa kembali sehingga Dewi Raramis ditinggalkannya di Suktadirja ia dititipkan kepada panakawannya dan saudaranya.
60 – 74  :    Raden Sentanu membujuk istri Purasara agar mau kawin dengannya, tetapi Dewi Raramis tiada mau. Raden Perbata mengetahui bahwa Sentanu menggoda bibinya dan ia takut negerinya diberikan kepada bibinya sehingga ia berniat akan membunuh Dewi Raramis.
74 – 77  :     Raden Perbata hendak menikam Dewi Raramis akan tetapi dapat digagalkan Lurah Semar dan membawanya lari ke hutan mencari Purasara dan diikuti kedua anaknya.
77 – 83 :   Dewi Raramis dan ketiga panakawannya masuk ke hutan mencari Purasara untuk mengadukan halnya dikejar oleh Raden Perbata dan kelakuan Sentanu membujuk Dewi Raramis.
84–95  : Sentanu mencari Dewi Raramis di istana tiada ditemuinya, lalu pergi menyusulnya ke tempat pertapaan Purasara sambil berkata-kata sendiri seperti orang gila. Dewi Raramis dan panakawannya bertemu dengan Purasara dan mengadukan halnya kepada Purasara.
95-113   :   Sentanu sampai di tempat pertapaan Purasara dan berusaha merebut Dewi Raramis sehingga terjadilah peperangan antara kedua saudara itu untuk memperebutkan Dewi Raramis, sedangkan Dewi Raramis dilarikan oleh ketiga panakawannya.
113-122 :   Dewi Raramis tidaklah tahan merasakan sakit perutnya hendak melahirkan sehingga anaknya lahir di hutan dan diberi nama Ganggasuta dengan pertolongan Lurah Semar.
122-129 :    Peperangan antara Sentanu dan Purasara mengakibatkan kayangan menjadi  goncang dan dunia menjadi binasa sehingga Batara Guru mengutus Batara Narada untuk menghentikan peperangan mereka atau mendamaikannya.
129-137 :  Batara Narada memperbaiki isi dunia yang rusak akibat peperangan yang ditimbulkan oleh kedua bersaudara itu. Namun, ketika mereka melihat Batara Narada datang, lalu keduanya sujud menyembah dan Batara Narada menanyakan sebab perkelahian mereka serta mendamaikannya.
137-142 :    Sentanu dan Purasara menyesali akan perbuatannya, lalu Sentanu pulang ke negerinya dan Purasara pergi mencari istri dan panakawannya karena teringat istrinya itu sedang mengandung.
142-144 :    Purasara tetap merasa sakit hati kepada Sentanu dan ia tidak mau berbicara kembali dengan saudaranya dan ia pergi mencari istrinya yang mungkin melahirkan.
144-150 :    Dewi Raramis dan ketiga panakawannya serta anaknya pergi menuju negeri Wirata karena terlalu lama menanti Purasara belum juga kembali dan ia tidak  mau kembali ke negeri Suktadirja, sedangkan Purasara berjalan tersesat di hutan mengenangkan anaknya.


rabu,01 Januari 2020 – 04.51 WIB
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor

Pustaka
Nikmah Sunardjo, dkk
“Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010

1 komentar:

  1. izin bertanya untuk naskah aslinya dapat dilihat dimana nggih?

    BalasHapus