Blog Ki Slamet 42 : Wayang Islami
Rabu, 01 Januari 2010 - 05.00 WIB
A.
Uraian
Naskah
1.
Sumber
Naskah.
Berdasarkan katalogus van Ronkel (1909:29),
katalogus susunan Amir Sutaarga dan kawan-kawan (1972:13-15), dan katalogus
susunan Josep H. Howard (1966:64) ternyata naskah “Hikayat Purusara” ini hanya
ada satu di Musium Nasional Jakarta.
Buku-buku yang
membicarakan pembicaraan tentang naskah-naskah wayang dalam bahasa Melayu
(Ikram, 1975:(2);12-18). Namun, rupanya “Hikayat Purasara” ini pernah dibuat
skripsi oleh Khalid Husein dalam mencapai gelar sarjana sastra Universitas
Indonesia, tetapi transliterasinya tidak ditemui. Khalid membicarakan cerita
Purasara dalam perbandingan dengan Mahabharata India (Roy, 1884), Adiparwa versi Jawa Kuno (Lembaga Adat
Istiadat dan Cerita Rakyat, 1968). Pakem Wayang Purwa (Probohardjojo, 1961),
dan naskah Hikayat Pandu atau Hikayat Asal Mula Wayang yang bernomor M1.241.
2. Deskripsi Naskah.
Nomor naskah : M1.
178
Ukuran naskah : 33.3
x 21 cm. 10 – 17 baris, 150 halaman
Tulisan naskah : huruf
Arab Melayu, jelas dan baik
Keadaan naskah : kertasnya
gak kotor dan sudah dilaminasi karena lapuk
Kolofon : tidak ada
Catatan lain :
Naskah ini tertulis pada kertas folio bergaris.
Enam
belas gambar wayang berwarna merah muda,
biru, kuning, hitam, hijau, cokelat dan
ungu/violet.
Gambar-gambar
itu adalah tokoh-tokoh yang diceritakan dalam naskah itu, seperti Batara Narada, Semar,
Garubug, Petruk, Sentanu, Purasara, Dewi Raramis, dan Raden Perbata.
Berdasarkan water mark, seperti
Jobst&Co dan Een Draaft Maakt Mast, yang
terdapat pada kertas itu Russel Jones mengemukakan pendapatnya bahwa hikayat
ini kemungkinan terkadang lebih kurang akhir abad ke-19 atau permulaan abad
ke-20 (Husein, 1972: 1-2). Selain itu, berdasarkan penelitian Khalid Husein
disebutkan bahwa naskah ini ditulis oleh orang yang sama dengan naskah “Hikayat
Asal Mula Wayang” (M: 241), yaitu Muhammad Bakri bin Sofyan bin Usman bin Fadli
dan ditulis sesudah tanggal 6 Agustus 1890 (Husein, 1972:4).
Pokok-pokok isi
ceritanya sebagai berikut:
1
- 9 : Sangyang Tunggal menciptakan
manusia untuk memerintah di dunia. Ciptaannya diberi nama Sangkara dan disuruh
turun ke dunia bersama seorang bidadari yang bernama Dewi Asmayawati.
Sangyang Tunggal pun turun
merupakan panakawan Semar untuk memelihara dan menemaninya di negeri
Suktadurja. Semar menciptakan Garubuk. Petruk, dan Gareng sebagai temannya
mengabdi kepada Raja Sang Sangkara.
10 - 16 : Sangkara berputra tiga orang laki-laki,
yaitu Sentanu kawin dengan Putri Sriwati, Sambirawa, dan Purasara. Sangkara dan
istrinya kembali ke kayangan, sedangkan Purasara pergi bertapa dan Sentanu
memerintah sebagai raja.
16 - 23 : Purasara
pergi bertapa ditemani Semar, Garubug, Petruk, dan Gareng. Sangyang Punggung
menyuruh empat orang batara untuk menggagalkan maksud Purasara bertapa di atas
Gunung Parasu karena ia takut tersaingi oleh Purasara. Namun, keempat batara
yang merupakan diri sebagai raksasa itu gagal dan kembali ke kayangan.
23 - 28 :
Purasara mendapat godaan lagi dari empat batara yang menjelma sebagai
binatang. Namun, keempat batara itu pun gagal pula sehingga Purasara berhasil
sampai di puncak gunung dan bertapa di atas sebuah batu putih. Semar dan
anak-anaknya sambil berkebun.
28 - 35 : Sentanu
berputra seorang laki-laki bernama Raden Perbatasari, sedangkan Purasara sangat
khusuk tapanya sehingga dapat mengeluarkan sinar dari badannya memancar ke
kayangan sehingga warga kayangan banyak yang sakit. Batara Guru, Batara Narada,
dan para bidadari menggoda dan membangunkannya tak juga berhasil. Purasara
terbangun oleh suara anak burung prit yang bersarang di kepalanya karena selalu
ribut sehingga burung itu kena sumpahnya.
35 – 37 :
Purusara pergi bersama panakawannya meninggalkan pertapaan sehingga
kayangan pun aman kembali dan bidadari semuanya sembuh seperti sedia kala.
37 – 42 : Negeri
Wirata yang diperintah Bagawan Wangsapati dan istrinya Wargapati mempunyai anak
Dewi Raramis. Dewi Raramis mempunyai penyakit, badannya berbau amis sehingga
ayahnya menyuruhnya untuk menjadi penganak perahu dengan upah mengobati
penyakitnya bersama kedua dayangnya.
42 – 53 :
Purasara bertemu dengan Dewi Raramis dan berhasil mengobatinya dengan
bantuan Semar sehingga sembuh, lalu mereka pun pulang ke negeri Wirata.
53 – 60 :
Purasara dan istrinya meninggalkan negeri Wirata kembali ke ke
Suktadirja. Ketika Dewi Raramis sedang mengandung, Purasara pergi meninggalkan
Negeri Suktadirja untuk bertapa kembali sehingga Dewi Raramis ditinggalkannya
di Suktadirja ia dititipkan kepada panakawannya dan saudaranya.
60 – 74 :
Raden Sentanu membujuk istri Purasara agar mau kawin dengannya, tetapi
Dewi Raramis tiada mau. Raden Perbata mengetahui bahwa Sentanu menggoda bibinya
dan ia takut negerinya diberikan kepada bibinya sehingga ia berniat akan
membunuh Dewi Raramis.
74 – 77 :
Raden Perbata hendak menikam Dewi Raramis akan tetapi dapat digagalkan
Lurah Semar dan membawanya lari ke hutan mencari Purasara dan diikuti kedua
anaknya.
77 – 83 : Dewi Raramis dan ketiga panakawannya masuk
ke hutan mencari Purasara untuk mengadukan halnya dikejar oleh Raden Perbata
dan kelakuan Sentanu membujuk Dewi Raramis.
84–95 : Sentanu mencari Dewi Raramis di istana
tiada ditemuinya, lalu pergi menyusulnya ke tempat pertapaan Purasara sambil
berkata-kata sendiri seperti orang gila. Dewi Raramis dan panakawannya bertemu
dengan Purasara dan mengadukan halnya kepada Purasara.
95-113 :
Sentanu sampai di tempat pertapaan Purasara dan berusaha merebut Dewi
Raramis sehingga terjadilah peperangan antara kedua saudara itu untuk
memperebutkan Dewi Raramis, sedangkan Dewi Raramis dilarikan oleh ketiga
panakawannya.
113-122 : Dewi Raramis tidaklah tahan merasakan sakit
perutnya hendak melahirkan sehingga anaknya lahir di hutan dan diberi nama
Ganggasuta dengan pertolongan Lurah Semar.
122-129 : Peperangan antara Sentanu dan Purasara
mengakibatkan kayangan menjadi goncang
dan dunia menjadi binasa sehingga Batara Guru mengutus Batara Narada untuk
menghentikan peperangan mereka atau mendamaikannya.
129-137 : Batara Narada memperbaiki isi dunia yang
rusak akibat peperangan yang ditimbulkan oleh kedua bersaudara itu. Namun,
ketika mereka melihat Batara Narada datang, lalu keduanya sujud menyembah dan
Batara Narada menanyakan sebab perkelahian mereka serta mendamaikannya.
137-142 : Sentanu dan Purasara menyesali akan
perbuatannya, lalu Sentanu pulang ke negerinya dan Purasara pergi mencari istri
dan panakawannya karena teringat istrinya itu sedang mengandung.
142-144 : Purasara tetap merasa sakit hati kepada
Sentanu dan ia tidak mau berbicara kembali dengan saudaranya dan ia pergi
mencari istrinya yang mungkin melahirkan.
144-150 : Dewi Raramis dan ketiga panakawannya serta
anaknya pergi menuju negeri Wirata karena terlalu lama menanti Purasara belum
juga kembali dan ia tidak mau kembali ke
negeri Suktadirja, sedangkan Purasara berjalan tersesat di hutan mengenangkan
anaknya.
rabu,01 Januari 2020 – 04.51 WIB
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor
Pustaka
Nikmah
Sunardjo, dkk
“Hikayat
Wayang Arjuna dan Purusara
Pusat
Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010
izin bertanya untuk naskah aslinya dapat dilihat dimana nggih?
BalasHapus