Blog Ki Slamet 42: Wayang Islami
Sabtu, 28 Desember 2019-08.57 WIB
Sabtu, 28 Desember 2019-08.57 WIB
“Hikayat
Wayang Arjuna dan Purusara” naskahnya hanya satu, tersimpan di Museum Nasional
Jakarta. Naskah ini berbahasa Melayu dialek Betawi. Bahasanya banyak
dipengaruhi bahasa daerah, antara lain, bahasa Jawa dan Sunda.
Naskah “Hikayat Wayang Arjuna” mempunyai
kolofon yang berbunyi seperti berikut “hari Sabtu, jam setenga tiga siang,
berbetulan pada 21 Mei tahun almasehi 1897; Tahhun Jim akhir, berbetulan 20
Zulhijjah, Hijrah 1314”, sedangkan naskah “Hikayat Purusara” tidak berkolofon.
Cerita hikayat ini berakhir pada waktu Purusara sedang tersesat, sedangkan
“Hikayat Wayang Arjuna” ceritanya ceritanya selesai.
Kedua naskah ini rupanya saling berkaita
isinya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa dalam naskah “Hikayat Purusara”
disebutkan Purusara yang membenci Sentanu itu kelak akan mendapatkan keturunan
yang sifatnya sama seperti Sentanu, yaitu Arjuna. Sifat Sentanu yang mata
keranjang itu memang diwariskan kepada Rajuna (Arjuna) dalam “Hikayat Wayang
Arjuna”. Jadi, ramalan Batara Narada dalam “Hikayat Purusara” itu terbukti di
dalam “Hikayat Wayang Arjuna”.
Hubungan kedua naskah itu ialah dalam
“Hikayat Purusara”, tokoh Purusara selalu bertapa untuk mendapatkan keturunan
yang sakti agar dapat menjadi raja yang besar. Keinginannya itu tercapai dalam
“Hikayat Wayang Arjuna”. Tokoh Arjuna, salah satu keturunan Purusara sangat
sakti. Rajuna dapat mengalahkan semua musuh-musuhnya, bahkan dewa yang
tertinggi pun dapat dikalahkannya.
Persamaan yang terdapat di dalam kedua
naskah itu ialah persamaan sifat antara Purusara dan Rajuna. Mereka suka
bertapa dan mencari ilmu agar memperoleh kesaktian sehingga menjadi orang yang
sakti mandraguna dan tidak
terkalahkan. Mereka sama-sama bertapa sampai tidak sadarkan diri sehingga
badannya dililit akar pohon dan kepalanya dijadikan sarang oleh burung.
Bedanya, kepala Purusara dibuat sarang oleh burung prit, sedangkan kepala
Rajuna dibuat sarang burung manyar dan semut api.
Kedudukan “HikayatWyang Arjuna” dan ‘Hikayat
Purusara” ialah sebagai lakon carangan karena gubahan pujangga Indonesia.
Selain gubahan pujangga Indonesia, lakon carangan juga berciri adanya unsur
panakawan, yang merupakan unsur asli Indonesia. Perbedaan kedua naskah itu
mengenai unsur panakawan ini, ialah pemunculan jumlah panakawannya. Dalam
“Hikayat Purusara” panakawan yang muncul adalah, Lurah Semar, Garubug, dan
Petruk; sedangkan “Hikayat Wayang Arjuna” memunculkan Lurah Srmar, Garubug, dan
Petruk; Cerimis disebut sekali oleh penulis pada halaman pertama. Dalam
“Hikayat Wayang Arjuna” muncul nama-nama tempat yang sampai sekarang kita kenal
dan masih ada, seperti Lapangan Gambar dan Psar Baru. Jadi, lakon carangan ini
ialah cerita yang memunyai nama tokoh-tokohnya sama dengan Mahabharata,
sedangkan jalan ceritanya menyimpang.
Fungsi “Hikayat Wayang Arjuna” dan “Hikayat
Purusara” sebagai media dakwah agama Islam karena dewa-dewa sebagai penguasa
yang tertinggi sudah digantikan oleh Yang Mahakuasa, yang mengacu kepada Tuan
Yang Maha Esa. Dalam cerita itu sudah jelas bahwa dewa-dewa yang tertinggi pun
dapat dikalahkan oleh manusia sehingga menghapus kepercayaan bahwa dewalah
penguasa yang tertinggi di dunia. Selain itu, beberapa kali naskah itu menyebut
pada Yang Mahakuasa. Fungsi ini yang terlihat ialah sebagai hiburan yang tidak membosankan karena ceritanya menarik, apalagi
cerita “Hikayat Wayang Arjuna” yang bertemakan petualangan cinta Arjuna.
Fungsi panakawan dalam “Hikyat Wayang
Arjuna”, dalam hal ini Semar, memberi petunjuk kepala Rajuna” (HW A: 130-131).
Semar yang memutuskan bahwa Rajuna sudah hidup kembali dengan meludahi air
sumur buatannya itu. Di sini terlihat bahwa panakawan itu berfungsi sebagai
pembimbing dan pelindung Pandawa. Fungsi panakawan dalam “Hikayat Purusara” pun
demikian juga; Semar membantu Purusara dari gangguan raksasa dan binatang yang
ingin menggagalkan kedatangan Purusara di Gunnung Parasu atas permintaan Batara
Guru. Semar pula yang membantu kelahiran anak Raramis di hutan dan membawanya
ke negeri Wirata.
Beberapa amanat “Hikayat
Wayang Arjuna” adalah:
1)
Jangan menceritakan keburukan saudara
sendiri karena hal itu berarti akan menjelekkan diri sendiri; hal ini sama
dengan epatah ‘menepuk air di dulang terpecik muka sendiri’;
2)
Jangan suka berburuk sangka atau curiga karena sifat itu dapat
mencelakakan diri ;
3)
Perbuatan yang kurang hati-hati dan
percaya pengaduan orang lain akan mencelakakan diri sendiri;
4)
Segala sesuatu apabila sudah ditakdirkan tetap akan
terlaksana.
Tema “Hikayat
Purusara ialah pencarian manusia sempurna, seperti yang dicita-citakan dewata.
Dalam hikayat ini Purusara merupakan tokoh yang hampir menjadimanusia sempurna.
Namun, seperti yang disampaikan oleh amanat cerita ini bahwa tidak mungkin ada
manusia yang sempurna di dunia ini. purusara dengan segala keutuhannya, sebagai
manusia tidak dapat lepas dari kesalahan, dan Purusara itu mau memaafkan
kakaknya mengganggu istrinya. Dia juga mengutuk keturunan Sentanu dan
keturunannya agar tidak pernah rukun dan damai. Amanat yang dapat terlihat
dalam hikayat ini ialah orang tidak mudah untuk mencapai kemakmuran di dunia.
Jadi, tidaklah mudah untuk mendapat apa yang dicita-citakan.
Transliterasi naskah
kedua hikayat itu dilengkapi dengan daftar kata sukar sebagai lampiran yang
dicantumkan setelah daftar pustaka untuk memudahkan orang memahami jalan
ceritanya.
Pustaka
Nikmah
Sunardjo, dkk
“Hikayat
Wayang Arjuna dan Purusara
Pusat
Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010
Sabtu,
28 Desember 2019
Slamet
Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar