Blog Ki Slamet 42: Wayang Islami
C.
Pertanggungjawaban Transliterasi Naskah Hikayat Purasara
Naskah “Hikayat Purasara” ini ditulis dengan
huruf Arab Melayu. Oleh karena teks ini ditransliterasikan ke dalam tulisan
Latin maka masalah ejaan perlu dibicarakan walau hanya terbatas pada puntuasi.
Penulisan huruf esar, kata ulang, kata depan, dan partikel disesuaikan dengan pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan waktu mentransliterasikan naskah.
Tanda titik hampir seluruhnya diterapkan
berdasarkan tanda yang terlihat di dalam teks, seperti kata maka, adapun, setelah, kadang-kadang kata
dan, demikian, jadi, dan syahdan. Kata-kata
itu dapat dijadikan sebagai permulaan suatu kalimat. Sebenarnya fungsi kata maka itu adalah sebagai penghubung antar
kalimat. Oleh karena itu, kata maka baru
dapat ditempatkan di awal kalimat apabila ternyata bahwa kalimat sebelumnya
sudah selesai.
Kata yang dipakai sebagai permulaan sebuah
alinea, yaitu alkisah, hatta, sebermula,
syahdan, kalakian, dan kadang-kadang kata maka.
Dalam naskah “Hikayat Purasara” banyak
terdapat kata yang berasal dari bahasa daerah, yaitu bahasa Jawa Sunda yang
berasal dari bahasa Melayu dialek Betawi. Beberapa contoh kosa kata dari bahasa
Jawa: ora ana negara (HP:5), teka ana, inyong (HP:7), kawula (HP:4), kula nuwun (HP:121), dua bait kidung yang ada pda naskah itu (HP:
12I), dan lunga metu sing ana (HP:149).
Beberapa contoh yang berasal dari bahasa Sunda ialah akang (HP:15), lintuh (HP:23), lapat-lapat (HP:46), babayi (HP:75) dan babujangan (HP:102), sedangkan yang berasal dari bahasa Melayu
dialek Betawi ialah mega lantaran (HP:1),
selempang (HP:2), mengkali (HP:5), belon (HP:6), tempo (HP:6), dicolong
(HP:13), silap (HP:19), tumben (HP:50),
mengulap-ulapan ( HP:46), dan
sebagainya. Selain itu ada beberapa kosa kata yang menunjukkan pengaruh
kebudayaan Barat, misalnya, kursi, menja,
perlente, permisi, pilar, bahkan ditemui juga kata dari bahasa Belanda,
yaitu sonder yang berasal dari zonder yang artinya tanpa dan kata onslag
yang berasal dari kata ontslag yang
artinya dipecat. Di samping kata-kata
di atas, pemakaian kata rumrum (HP:98),
merumrum (HP:131), dan mengerumrum (HP:135) terdapat juga pada
hikayat ini yang artinya membujuk atau mencumbu. Menurut van der Tuuk cerita
wayang Melayu ini merupakan saduran dari syair Jawa Kuno sehingga sampai pada
kesimpulan dengan membandingkan kata merumrun
dalam wayang Melayu, sedangkan dalam bahasa Jawa Kuno mengrumrum/mangrumrum
(Liau, 1982:72). Dalam “Hikayat Purasara” kedua kata-kata itu dipakai.
Penulisan naskah cukup baik, walaupun ada
juga kesalahan, seperti Sentanu pada
halaman 58 seharusnya Perbata; haplografi
seperti telah ditulis (te)lah (HP:133) dan dittografi yaitu dua
kali penulisan suatu kata yang bukan kata ulang, seperti Raden (HP:90). Dalam naskah ini apabila ada bunyi e, konsonan berikutnya berikutnya
ditulis dua kali, misalnya seddi (HP:120),
lessu (HP:125), teppoh (HP:133), dan ditulis secara konsisten; Selain itu juga
ditemui adanya pengulangan konsonan setelah bunyi u pada dilauttan (HP:133)
dan a pada kata layani (HP:142) tanda baca terdapat dalam naskah ini, terutama untuk
penulisan nama-nama tokoh, tempat, dan kata-kata Jawa, seperti Sangkara (HP:1), Suktadirja (HP:5) danora ana
negera (GP:5). Namun secara keseluruhan tidak mengganggu kelancaran cerita.
Naskah “Hikayat Purasara” yang bernomor M1.
178 ini merupakan naskah tunggal; maka untuk memelihara ciri-ciri dan kelainan
khas yang ada di dalamnya, naskah itu ditrasliterasika sebagaimana adanya.
Namun, sepanjang tidak mempengaruhi ciri-ciri dan kekhasan itu, transliterasi
dilakukan berdasarkan ketentuan dalam buku Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Semua itu dilakukan dengan
tujuan supaya pembaca lebih jelas menangkap isi dan maksud ceritanya. Untuk
jelasnya dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a.
Alinea dibuat berdasarkan tahap-tahap
atau urutan peristiwa di dalam cerita.
b.
Kata atau kalimat Arab yang umum
dipakai ditulis seperti yang ada dalam KUBI, misalnya, kabar, sedangkan kata
atau kalimat Arab yang belum lazim, penulisannya berpedoman pada hasil Sidang
VIII Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia dalam Lampiran X Hasil Kerja Kelompok
Agama Cisarua, Bogor, Indonesia, 9-13 Agustus 1976. Misalnya wa I-Lahu ‘alam bi s-sawab (HP:74).
c.
Kata-kata yang dianggap sukar atau
tidak lazim atau dianggap berasal dari bahasa daerah diberi garis bawah dan
dimasukkan ke dalam kata-kata sukar. Daftar kata sukar dan artinya dilampirkan.
Dalam hal ini dipergunakan Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Kamus Dewan, Kamus Dialek Melayu Jakarta-Bahasa Indonesia,
dan Niew Maleisch-Nederlandsch Woordenboek.
d.
Angka Arab yang terdapat di sebelah
pinggir kiri dipergunakan untuk menandai halaman naskah.
e.
Garis miring dua ( // ) dipakai untuk
menandai batas halaman naskah.
f.
Kata-kata yang dalam bahasa Indonesia
lazimnya memakai huruf h, tetapi
dalam teks tidak ada huruf h maka
ditransliterasikan apa adanya. Demikian juga kata-kata yang dalam bahasa
Indonesia tidak menggunakan huruf h, tetapi
dalam naskah mempergunakan huruf h;
semua itu ditulis apa adanya untuk menjaga kekhasan naskah itu.
g.
Untuk kata-kata atau huruf yang
ditambahkan dalam transliterasi mempergunakan kata kurung ( . . . ), sedangkan
untuk kata yang dibuang atau haplografi mempergunakan tanda kurung / . . . /.
h.
Kata ulang dalam naskah ditulis
dengan angka dua. Namun, karena berpedoman dengan Pedoman Bahasa Indonesia yang Disempurnakan serta disesuaikan
dengan konteks kalimatnya ditulis dua kali.
—KSP 42—
Sabtu, 11 Januari 2020 –03.10 WIB
Slamet Priyadi di Kp. Pangarakan, Lido – Bogor
P u s t a k a :
Nikmah
Sunardjo, dkk
“Hikayat
Wayang Arjuna dan Purusara
Pusat
Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar