Blog Ki Slamet 42: "Wayang Islami"
Senin, 24 November 2019 - 07.42 WIB
Senin, 24 November 2019 - 07.42 WIB
Pada waktu
bangsa Indonesia mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda dalam perang
–perang kolonial, seperti pada waktu perlawanan Sultan Hasanuddin dari Makasar,
Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengku Buwana I), Perang
Dipanegara, Perang Padri, Perang Aceh dan lain-lainnya melawan Belanda, siasat
perang bangsa Indonesia telah mengejutkan pihak lawan, karena tidak disangka
oleh pihak penjajahBelanda, bahwa bangsa Indonesia memiliki akal yang cerdas
untuk menghadapi seranga musuh dalam pertempuran kecil, khususnya dalam perang
gerilya 1), seperti yang telah diuraikan
oleh Jendral A.H. Nasution. dijelaskan nasution. A.H.
NASUTION. Sekalipun perang
gerilya merupakan perang yang Hebat dan memeras otak dari pihak yang mengadakan
gerilya, perang ini secara sendiri belum dapat memberi pukulan terakhir kepada
musuh, karena kemenangan terakhir hanya bisa tercapai dengan tentara yang
teratur dengan serangan-serangan yang berbentuk frontal dan perang kecil.
Karena perang melawan musuh itu dalam
sejarah tidak hanya merupakan perang fisik-militer, akan tetapi juga merupakan
perang diplomasi, politik, psychologis dan sosial-ekonomis, tibullah pertanyaan
darimana gerangan bangsa Indonesia itu mempelajari siasat perang, apabila
mereka itu dalam sejarah mengadakan perang frontal dan gerilya terhadap
angkatan perang Belanda. Dengan
perkataan lain, disamping adanya faktor semangat menyala-nyala untuk
mempertahankan setiap jengkal tanah dari serangan luar dari pihak manapun juga,
pastilah bangsa Indonesia itu memiliki kitab-kitab mengenai siasat perang yang
bersifat khusus atau terselip dalam beberapa kitab kesusasteraan.
Apabila dikatakan, bahwa kitab
kesusasteraan itu menjadi dasar pengetahuan siasat perang, hal itu memang
benar, karena pada zaman kuno belum ada lembaga pendidikan seperti pada waktu
sekarang, segala macam pendidikan itu diambil dari isi kitab kesusasteraan yang
diberi penafsiran sesuai dengan il,u yang diajarkan, seperti moralitas, ilmu
negara, ilmu hukum, ilmu siasat perang dan sebagainya. Sudah barang tentu, karena ajaran-ajaran
tersebut tidak disusun secara sistematis, dibawah pimpinan seorang guru otak setiap
pelajar pada waktu yang lampau dilatih berdasarkan atas kitab-kitab
kesusasteraan mengenai sesuatu mata pelajaran dan mencari kesimpulan sendiri
dan apa yang diajarkan.
Dari kesusasteraan Indonesia kuno ada
beberapa bukti, bahwa Indonesia itu telah mengenal siasat perang. Suatu pengertian siasat perang yang penting
diketemukan dalam kitab kakawin Arjuna-wiwaha dari abad 11 dan kitab Nitisastra
dari abad 14 dan sekitarnya, keduanya dalam bahasa Jawa kuno yang masing-masing
memuat istilah sama-bheda-ddanndda .
pengertian siasat perang dalam
kesusateraan Jawa kuno itu diambil dari kesusateraan India, ialah dari kitab Arthasastra ciptaan Kauttilya dalam
bahasa sansekerta, ialah kitab yang mengajarkan tentang pengetahuan politik,
termasuk politik menghancurkan musuh.
Kitab ini rupanya menjadi kitab pegangan dalam lapangan ilmu politik
yang dikerjakan oleh keluarga raja-raja Gupta yang pernah mempersatukan
sebagian besar India.
Menurut ajaran sama-bedha-ddanndda dirumuskan, bahwa setiap kepala negara yang
ingin membinasakan lawannya wajib mencari sekutu (sama) di antara negara-negara
yang berhubungan baik. Telah
diperhitungkan, bahwa pada waktu perang dengan negara-negara lain,
negara-negara yang telah terikat oleh ‘sama’
itu sedikitnya bersikap netral,
bahkan dapat diharapkan adanya sokongan dan bantuan dari negara-negara
tersebur. Siasat kedua dari ‘sama-bedha-ddanndda’, ialah siasat
‘bheda’ yang berarti memecah belah dan memerintah, yang kurang lebih sama
dengan pengertian divide et impera.
Sebab apabila tujuan mengadu domba musuh itu telah tercapai, sampailah
waktunya untuk mempraktekkan ‘ddanndda’
atau pukulan, ialah pukulan terakhir kepada musuh yang telah lemah itu.
Karena pengertian sama-bheda-ddanndda disebutkan dalam kitab kakawin Arjunna-wiwaha dan Nitisastra,
dijelaskan bahwa siasat perang
sama-bheda-ddanndda itu dikenal dan dipelajari di Indonesia. Dalam hubungan ini dapat dikatakan, bahwa
pengetahuan penggunaan senjata perang itu disebut ‘dhanurweda’ (weda berarti pengetahuan, sedangkan dhanu berarti
panah) dan merupakan sebagian dari pengetahuan perang. Jalan untuk mencapai kemenangan dalam perang
dapat diperoleh dengan mempelajari pengetehaun yang dalam kesusateraan Jawa
baru disebut pengetahuan ‘jaya-kawijayan’,
ialah pengetahuan untuk mendapat kemenangan perang.
Pengetahuan
tentang perang dalam bentuk yang agak kongkrit diketemukan dalam beberapa
kitab, di antaranya dalam kakawin Bharata-Yudda
yang menyebutkan beberapa bentuk wyuha
atau susunan tentara, kitab Nitisastra
yang membicarakan cara untuk memilih seorang panglima, dan kitab Nagarakrertagama dari zaman Majapahit
yang menguraikan bagaimana raja Hayam Wuruk itu mempertontonkan kepandaian
tentaranya yang mendemonstrasikan segala macam ulah perang. Dari berita-berita yang diketemukan dalam
beberapa kitab kesusasteraan Jawa kuno dapat ditentukan dengan pasti, bahwa
ilmu siasat perang itu telah dikenal, sedikitnya di daerah Jawa, Bali dan Lombok.
Sebaliknya di daerah lainnya di
Indonesia juga diketahui bahwa ada beberapa kitab yang menunjukkan adanya
beberapa pengertian, bahwa siasat perang itu telah dipelajari di
Indonesia. Di dalam kitab sejarah melayu
disebutkan, bahwa pada menjelang malam direbutnya kota Malaka yang diserbu oleh
angkatan perang Portugis sejumlah banyak perwira muda yang menginginkan supaya
kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu dibacakan dengan tujuan untuk memberi
semangat kepada mereka karena di dalam kitab Hikayat Mohammad Hanafiah itu banyak disebutkan tentang siasat
perang. Kitab lain dalam kesusasteraan
Indonesia kuno yang juga memuat siasat perang, ialah kitab Hikayat Amir Hamzah. Seperti
diketahui, Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad s.a.w. dan dalam usahanya
ikut meluaskan agama Islam, Amir Hamzah
berperang dengan raja-raja di tanah Arab dan negara lainnya. Seperti telah diketahui, cerita Hikayat Amir
Hamzah yang tumbuh di Indonesia itu melalui kesusasteraan Persia.
Hikayat Amir Hamzah dalam bahasa Melayu
itu sedemikian populernya, sehingga melalui Hikayat Amir Hamzah ini disadur
suatu cerita baru dalam bahasa Jawa baru pada zaman Mataram Kartasura
(kira-kira tahun 1700) dan terkenal
sebagai Serat Menak
(Kartasura). Karena pada waktu meluasnya agama Islam itu cerita-cerita dari
zaman pra-Islam itu agak terdesak, sebagai gantinya tumbuh cerita-cerita Islam
yang berpangkal kepada kitab Menak, sehingga R.Ng. Jasadipura ikut menulis
menulis cerita Menak dalam bahasa Jawa Baru.
Dengan ini mulai terkenallah tokoh Wong
Agung Menak Jayengrana, ialah sebutan Amir Hamzah dalam bahasa Jawa dan
pahlawan-pahlawan lainnya seperti Umarmaya, Lamdahur, Hirman, Kelan dan
lain-lainnya.
BERSAMBUNG!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar