Wayang Islami – Selasa, 14
Januari 2014 – 10:13 WIB
Pentas wayang |
Setengahnya orang, terutama yang sedikit antipati terhadap wayang
berpendapat, wayang itu hanya cerita dongeng semata tak ada kaitannya dengan
sejarah. Pendapat seperti ini perlu kita kritisi agar tidak ada salah faham
yang lebih jauh. Yang jelas, cerita wayang berasal dari dua kitab sastra Hindu terbesar yang sudah sangat terkenal, “RAMAYANA dan MAHABARATA”. Akan tetapi oleh para penyebar Islam (Wali Sanga)pada era
berkuasanya kerajaan Demak di Jawa, cerita wayang di Indonesia sudah banyak
dirubah dan dikembangkan baik bentuk wayangnya itu sendiri maupun isi ceritanya
yang disesuaikan dengan ajaran Islam. Hal tersebut dilakukan oleh para wali
sebagai media da’wah Islam. Bentuk-bentuk wayang di Indonesia sebagai mana yang
kita lihat sekarang itu bahkan tidak ada di negara asal cerita wayang itu
sendiri, India.
Kitab
Ramayana dikarang oleh Walmiki (Hindu). Kitab ini lebih tua
dari pada Mahabarata. Di negeri Hindu, Ramayana termasuk kitab golongan orang
yang memeluk agama Wisnu. Sedang
Mahabarata kitab orang yang beragama Siwa.
Di Jawa kitab Ramayana berbahasa Jawa Kuna dan berbentuk syair. Para sarjana Belanda ada yang mendalami kita
ini, seperti Dr.W.F. Stutterhein (Die Rama Legenden) dan lain-lain. Kitab Ramayana berbahasa Jawa Kuna ini
kira-kira pada masa pemerintahan raja Diyah Balitung. Seorang raja
terkenal yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang bertahta di Mataram
kira-kira tahun 820-832 Saka. Adapun
kitab Ramayana berbahasa Jawa Kuna menceritakan Prabu Rama, seperti kitab
Ramayana berbahasa Sansekerta ciptaan Walmiki.
Meskipun demikian ada bedanya.
Pada Ramayana Sansekerta “Sita” istri Rama, sesudah pulang ke
negeri Ayodya lalu berpisah dengan Rama.
Sedang dalam kitab Ramayana Jawa Kuna, Sita segera berkumpul lagi dengan
Rama. (Prof.Dr. R.M. Poerbotjaraka, Kepustakaan Jawi, halaman 9). Selain itu Ramayana Jawa Kuna jika
dibandingkan dengan Ramayana Walmiki, termasuk sangat pendek dan ringkas, tidak
berlarut-larut. Telah diketahui bahwa induk Ramayana Jawa Kuna itu memang bukan
Ramayana Walmiki. (Prof.Dr.
R.M. Poerbotjaraka, Kepustakaan Jawi, halaman
9). Cerita besar yang mengisahkan cinta-kasih
antara Rama dan Sinta ini telah dipertunjukkan dalam panggung secara
besar-besaran di Prambanan dan merupakan acara tahunan yang cukup besar
mendapat perhatian dari masyarakat dan para turis.
Kitab
Mahabarata, aslinya ada di India karangan dari Resi Wiyasa (Abiyasa), intinya
mengisahkan perjalanan hidup keluarga Pandawa dan Korawa; yang kini di tanah
Jawa jadi lakon cerita wayang Purwa, akan tetapi sudah banyak mengalami
perubahan.
Kitab
Mabarata tergolong kitab Siwaisme yang terdiri dari 18 Parwa (bagian), dari
delapan belas parwa baru 9 saja yang ditemukan di Indonesia. Delapan belas parwa itu urutannya sebagai berikut:
1.
Adi
parwa *)
2.
Sabha
parwa *)
3.
Wana
(+wasa) parwa
4.
Wirata
parwa *)
5.
Ud-yoga
parwa *)
6.
Bhisma
parwa *)
7.
Drone
parwa
8.
Karna
parwa
9.
Salya
parwa
10. Ghada parwa
11. Aswatama parwa
12. Stri
Palapa parwa
13. Santika parwa
14. Asvamedha parwa
15. Asramavasana parwa *)
16. Mausala parwa *)
17. Prasihanika parwa *)
18. Swargarohana parwa *)
Adapun
9 parwa yang ada di Indonesia ialah parwa-parwa nomor *) 1, 2, 4, 5, 6, 15, 16,
17, 18. Sedangkan yang banyak menjadi
sumber cerita perwayangan di Indonesia adalah parwa yang pertama, yaitu Adi parwa. Tentang Adi parwa ciptaan Indonesia ini, Prof.Dr. Poerbotjaraka menguraikan
sebagai berikut :
“Buku ini susunannya sama dengan buku Uttarakanda,
juga menyebut nama Prabu Dharmawangsa Teguh (Raja di Jawa). Dalam kitab Mahabarata merupakan bagian
pertama. Sedangkan detail urutan
ceritanya banyak sekali. Jelasnya, jadi
cerita lakon wayang masa remaja, cerita-cerita lakon tentang kelahiran, dan
lain-lain. Cerita lakon Dewi Lara Amis,
Bale sigala-gala, gugurnya Arimba, Burung Jiwata dan lain-lain, itu petikan
dari buku Adi parwa. Cerita “Ngebur
Segoro Peresan”, yang menyebabkan keluarnya “air kehidupan”, juga awal adanya
gerhana matahari atau gerhana bulan dimakan raksasa berbentuk kepala saja, juga
ada dalam kitab ini. Buku ini sudah
dicetak dengan huruf latin. Dibandingkan dengan Mahabarata Sanskerta oleh
Prof.Dr. H. Kern disertai beberapa petikan.
Cerita Garuda diterjemahkan ke
bahasa Belanda oleh Dr. Joynboll”. (Prof.Dr.
R.M. Ng. Poerbotjaraka, Kepustakaan Jawi,
halaman 9).
R. Harjawiraga menguraikan
asal-usul wayang dan apa sebenarnya maksud cerita wayang itu diciptakan menulis
demikian :
Wayang Purwa adalah sebagai symbol kehidupan
manusia di dunia ini. Dalam pokok artinya, yang jadi awal sebagai ibu bapak
sekalian wayang itu ialah “Hyang Manik Maya” (Betara Guru) dan “Hyang Ismaya”
(Semar) sebangsa Dewa. Manikmaya dan
Ismaya putra “Hyang Tunggal”(tak diujudkan sebagai wayang). Kedua putra itu pada awalnya berupa cahaya
dan terjadinya pada saat yang bersamaan. Manikmaya bersinar-sinar, sedangkan
Ismaya bercahaya kehitam-hitaman. Kedua
cahaya itu berebut mana yang lebih tua.
Lalu “Hyang Tunggal” bersabda, bahwa cahaya kehitam-hitamanlah yang
lebih tua. Akan tetapi diramalkan tak
dapat berjiwa sebagai Dewa dan diberi nama “Ismaya”, bersifat sebagai manusia
dan dititahkan supaya tetap tinggal di dunia mengasuh turunan Dewa yang berdarah
Pandawa. Maka diturunkanlah ia ke dunia bernama “Semar” yang berupa manusia
buruk rupanya. Cahaya
yang bersinar diberi nama “Manikmaya”, tetap tinggal di “Suralaya” (kerajaan
Dewa). Manikmaya merasa bangga, karena
tak punya cacat dan sangat berkuasa.
Tetapi pikiran Manikmaya yang demikian itu menjadi sebab baginya
mendapat cacat juga pada dirinya kemudian.
Kedua kejadian ini merupakan lambang atau
symbol. Ismaya sebagai lambang badan manusia yang kasar ini dan Manikmaya
sebagai lambang kehalusan batin manusia. Jiw yang kasar (Semar) senantiasa
menjaga kelima Pandawa yang ujudnya berupa “panca indra” atau kelima perasaan
tubuh manusia.
Pandawa
Lima sebagai lambang 5 indra manusia
1 .
Yudhistira sebagai lambang indera perasa, hidung
2 .
Bima atau Werkudara sebagai lambang indrera pendengaran, telinga
3 .
Arjuna sebagai lambang indera penglihatan, mata
4 .
Nakula sebagai lambang indera mulut
5 .
Sadewa sebagai lambang indera badan
Kita harus senantiasa
menjaga pada keselamatan panca indra dan kelima
Pandawa atau indra manusia itu jangan sampai menempuh jalan yang salah seperti
: hidung jangan hanya suka dan senang pada waktu mencium aroma yang serba harum
dan wangi, telinga jangan hanya mendengarkan pada suara yang merdu-merdu saja,
mata jangan hanya melihat pada keindahan semata yang terkadang menyesatkan, dan
sebagainya. Jelasnya, barang apapun yang
mengenai kelima perasaan itu, jangan sampai dibeda-bedakan akan gunanya
kebaikan dan keburukan, karena semuanya itu terjadi karena asalnya dari
perbuatan diri sendiri. Oleh karena itu
sedapat mungkin kedua jalan itu dikembalikan pada pertimbangan ketenangan dan
kejernihan hati. Tugas Semar-lah
untuk menjaga kesejahteraan dan keselamatan Pandawa supaya mereka menjauhi
permusuhan dengan Korawa, ialah nafsu amarah.
Akan tetapi Betara Guru (rasa batin) yang senantiasa menggoda dan mudah
mengusik rasa jiwa yang mengarahkan pada kesalahan, maka Pandawa dan Korawa
tidak henti-hentinya terus-menerus berperang hingga sampai pada perang yang
terakhir, ialah perang Baratayuda, dan Pandawalah yang jaya dan mendapat kemenangan.
Analisa
mengenai Batara Guru ini sudah menimbulkan salah paham. Orang beranggapan bahwa Batara Guru yang
paling berkuasa segalanya. (R.
Harjawiguna, Sejarah Wayang Purwa,
halaman 4, PN. Balai Pustaka Jakarta 1952). Ingat, Batara Guru bersifat lemah, dengan
bukti dari segala cacat yang dimilikinya. Jika ia yang sangat berkuasa tentulah
tak ada cacat pada dirinya. Memang
Batara Guru berkuasa tak terhingga, tetapi dengan kebijaksanaan dan kesaktian
Semar, Batara Guru dapat diatasi dan dikendalikan oleh Semar. ( ibid, Sejarah Wayang Purwa )
Kesimpulan
Kesenian wayang bukanlah cerita dongeng, akan tetapi merupakan karya
sastera yang adiluhung karena di dalamnya mengandung ajaran-ajaran bagaimana
menghadapi hidup yang sebaik-baiknya menurut ajaran agama yang dianut manusia.
Kesenian wayang merupakan simbol kehidupan manusia dengan segala sifat dan karakternya
masing-masing. Kesenian wayang juga memiliki tujuan bagaimana berjuang untuk melawan, memerangi segala nafsu angkara
murka yang selalu merusak kehidupan damai manusia. (SP091257)
Penulis:
Slamet Priyadi
Pangarakan, Bogor
Sumber:
Drs. H. Effendi Zarkasi, “Unsur Islam Dalam Pewayangan”, Alfa Daya-
Jakarta