|
Wayang Klithik |
SUARA MERDEKA – SELASA, 27 NOV. 2012: Wayang merupakan sebuah warisan budaya Jawa, sejak masa Wali Songo
hingga sekarang wayang masih digunakan sebagai media penyebaran Agama Islam .
Konon wayang digunakan oleh Sunan Kali Jaga sebagai media menyebarkan ajaran
Islam di pulau Jawa. Di Jawa tengah khususnya.
Keberadaan
wayang di daerah Jawa mempunyai bentuk yang heterogen. Seperti halnya Wayang
Kulit yang dibuat dari kulit, Wayang Suket yang terbuat dari rumput (suket)
dan mulai dikenal masyarakat lewat dalangnya Slamet Gundono, juga Wayang
Krucil atau Wayang Klithik yang keberadaannya hampir punah karena tergerus oleh
budaya- budaya modern. Menurut akar sejarahnya, Wayang Krucil pertama kali
diciptakan oleh Pangeran Pekik dari bahan kulit dan berukuran kecil sehingga
lebih sering disebut dengan Wayang Krucil.
Sejarah Wayang Klithik
Wayang
ini dalam perkembangannya menggunakan bahan kayu pipih (dua dimensi-red) yang
kemudian dikenal sebagai Wayang Klithik. Di daerah Jawa Tengah Wayang Klitik
memiliki bentuk yang mirip dengan Wayang Gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot
rapekan, berkeris, dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Sedangkan, di
Jawa Timur tokoh- tokohnya banyak yang menyerupai Wayang Purwa. Di Jawa Tengah,
tokoh-tokoh rajanya Bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.
Cerita
yang dipakai dalam Wayang Klithik umumnya mengambil dari zaman Panji
Kudalaleyan di Pajajaran hingga zaman Prabu Brawijaya di Majapahit. Namun,
tidak menutup kemungkinan Wayang Krucil memakai cerita Wayang Purwa dan Wayang
Menak, bahkan dari Babad Tanah Jawa sekalipun. Gamelan yang dipergunakan untuk
mengiringi pertunjukan wayang ini amat sederhana, berlaras slendro dan berirama
playon bangomati (srepegan). Namun, ada kalanya Wayang Klithik menggunakan
gendhing-gendhing besar.
Adapun
tokoh wayang Klithik atau Krucil antara lain. Damarwulan, Menakjingga,
Layangseta, Layang Kumitir, Logender, Prabu Kencanawungu, Patih Udara, Wahita,
Puyengan, Adipati Sindura, Menak Koncar, Ranggalawe, Buntaran, Watangan,
Anjasmara, Banuwati, Panjiwulung, Sabdapalon, Nayagenggong, Jaka Sesuruh, Prabu
brawijaya, Angkatbuta, Ongkotbuta, Dayun, Melik, Dewagung Walikrama, Dewagung
Baudenda.
Wayang
Klithik memiliki karakteristik sendiri di banding dengan jenis wayang yang lain
yaitu menggunakan tembang pelok dan pada saat di tengah- tengah pertunjukan
sering adanya dialog antara dalang, sinden, dan penabuh gamelan. Keunikan lain
dari wayang Klithik adalah modelnya yang dua dimensi dan juga terbuat dari kayu
kenanga. Wayang Klithik biasanya dipentaskan pada malam hari, maupun hari
tertentu. Misalnya pada saat tradisi sedekah bumi, ataupun malam sura.
Tradisi Kuat
Daerah
yang masih kerap mengadakan pagelaran Wayang Klithik adalah daerah Blora,
tepatnya di Desa Janjang Kecamatan Jiken. Mengingat di Desa tersebut mempunyai
tradisi yang masih kuat. Pagelaran Wayang Krucil di Desa tersebut umumnya
dilakukan pada saat acara Khoul Mbah Janjang, maupun saat masyarakat
yang mempunyai nazdar tertentu.
Banyak
masyarakat Blora yang mengetahui hasil kebudayaan asli Jawa ini dikarenakan
kurangnya kepedulian dan pemahaman yang konkret tentang hal ini, maka
keberadaan Wayang Krucil sedikit demi sedikit terlupakan. Hal seperti itu
secara tidak langsung akan membuat sebuah pendegradasian sebuah karya budaya
lokal yang seharusnya kita sebagai masyarakat asli menjunjung tinggi hal
tersebut. Selain terbatasnya peminat ataupun pemerhati, keterbatasan jumlah
pengrajin dari Wayang Krucil itupun juga sangat memprihatinkan.
Perhatian
dari pemerintah Blora pun kurang begitu maksimal. Kurangnya "nguri- nguri
kabudayaan" dari pemerintah dan masyrakat di Blora pada umumnya akan
menambah deretan penyiksaan terhadap hasil kebudayaan ini, yang pada akhirnya
akan menjadikan hasil dari kebudayaan ini akan punah.
Dahulu
saat era Wali Songo, wayang sangat populer. Tetapi saat ini, warisan budaya ini
seperti tergeser dengan adanya kebudayaan-kebudayaan baru yang umumnya
"dikatakan" modernisasi.
(Eko Wahyu Budi/CN32)