Ki Slamet Blog - Wayang Islami
Sabtu, 09 Juni 2018 - 22:47 WIB
Sabtu, 09 Juni 2018 - 22:47 WIB
Hikayat Wayang Purwa |
“Hikayat
Wayang Arjuna dan Purasara” itu naskahnya hanya satu, disimpan di Museum
Nasional Jakarta, kedua naskah ini berbahasa Melayu dialek Betawi. Bahasanya
banyak dipengaruhi oleh bahasa daerah, antara ain, bahasa Jawa dan Sunda.
Naskah
“Hikayat Wayang Arjuna” mempunyai kolofon yang berbunyi seperti berikut “hari
Sabtu, jam setenga tiga siang, berbetulan pada 21 Mei tahun Almasehi 1897;
Tahun Jim akhir, berbetulan 20 Zulhijjah, Hijrah 1314”, sedangkan naskah “Hikayat
Purasara” tidak berkolofonn. Cerita hikayat ini berakhir pada waktu Purasara
sedang tersesat, sedangkan “Hikayat Wayang Arjuna” ceritanya selesai.
Kedua
naskah ini rupanya isinya saling berkaitan. Hal ini dapat dibuktikan bahwa di
dalam naskah “Hikayat Purasara” disebutkan Purasara yang membenci Sentanu itu
kelak akan mendapatkan keturunan yang sifatnya sama seperti Sentanu, yaitu
Arjuna. Sifat Sentanu yang mata keranjang itu memang diwariskan kepada Rajuna (
Arjuna ) dalam “Hikayat Wayang Arjuna”. Jadi, ramalan Batara Narada dalam “Hikayat Purasara” itu terbukti di dalam
“Hikayat Wayang Arjuna”.
Hubungan
kedua naskah itu ialah dalam “Hikayat Purasara”,Tokoh Purasara selalu bertapa
untuk mendapatkan keturunan yang sakti agar dapat menjadi raja yang besar.
Keinginannya itu tercapai dalam “Hikayat Wayang Arjuna”. Tokoh Arjuna, salah
satu keturunan Purasara, itu sangat sakti. Rajuna dapat mengalahkan semua
musuh-musuhnya, bahkan dewa yang tertinggi pun dapat dikalahkannya.
Persamaan
yang terdapat di dalam kedua naskah itu ialah persamaan sifat antara Purasara
dengan Arjuna. Mereka suka bertapa dan mencari ilmu agar memperoleh kesaktian
sehingga menjadi orang yang sakti mandraguna dan tidak terkalahkan. Mereka
sama-sama bertapa sampai tidak sadarkan sehingga badannya dililit akar pohon
dan kepalanya dijadikan sarang oleh burung. Bedanya, kepala Purasara dibuat
sarang oleh burung prit, sedangkan kepala Rajuna dibuat sarang burung manyar
dan semut api.
Kedudukan
“Hikayat Wayang Arjuna” dan “Hikayat
Purasara” ialah sebagai lakon carangan karena gubahan pujangga In
donesiaa. Selain gubahan pujangga Indonesia, lakon carangan juga berciri adaya
unsur panakawan, yang merupakan unsur asli Indonesia. Perbedaan kedua naskah
itu mengenai unsur panakawan ini, ialah pemunculan jumlah panakawannya. Dalam
“Hikayat Pursara” panakawan yang muncul, ialah Lurah Semar, Garubug, dan
Petruk; Cerumis disebut sekali oleh penulis pada halaman pertama. Dalam
“Hikayat Wayang Arjuna” muncul nama-nama tempat yang sampai sekarang kita kenal
dan masih ada, seperti Lapangan Gambir dan Pasar Baru. Jadi, lakon carangan itu
ialah cerita yang mempunyai nama tokoh-tokohnya sama dengan Mahabharata,
sedangkan jalan ceritanya menyimpang.
Fungsi
“Hikayat Arjuna” dan “Hikayat Purasara” sebagai media dakwah agama Islam karena
dewa-dewa sebagai penguasa yang tertinggi sudah digantikan oleh yang Maha
Kuasa, yang mengacu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam cerita itu pun sudah
jelas bahwa dewa-dewa yang tertinggi pun dikalahkan oleh manusia sehingga
menghapus kepercayaan bahwa dewalah penguasa yang tertinggi di dunia. Selain itu,
beberapa kali naskah itu menyebut pada Yang Maha Kuasa. Fungsi lain yang
terlihat ialah sebagai hiburan yang tidak membosankan karena ceritanya menarik,
apalagi cerita “Hikayat Wayang Arjuna” yang bertemakan petualangan cinta
Arjuna.
Funsi
panakawan dalam “Hikayat Wayang Arjuna”, dalam hal ini Semar, memberi petunjuk
kepada Rajuna (HWA: 130-131). Semar yang memutuskan bahwa Rajuna sudah hidup
kembali dengan meludahi air sumur buatannya itu. Di sini terlihat bahwa
panakawan itu berfungsi sebagai pembimbing dan pelindung Pandawa. Fungsi
panakawan dalam “Hikayat Purasara” pun demikian juga; Semar membantu Purasara
dari gangguan raksasa dan binatang yang ingin menggagalkan kedatangan Purasara
di Gunung Parasu atas permintaan Batara Guru. Semar pula yang membantu
kelahiran Raramis di hutan dan membawanya ke negeri Wirata.
Beberapa amanat
“Hikayat Wayang Arjuna” adalah ;
1.
Jangan menceritakan
keburukan saudara sendiri karena hal itu berarti akan menjelekkan diri sendiri;
hal ini sama dengan pepatah ‘menepuk air di dulang terpercik muka sendiri’;
2.
Jangan suka
berburuk sangka atau curiga karena sifat itu dapat mencelakakan diri;
3.
Perbuatan yang
kurang hati-hati dan percaya pengaduan orang lain akan mencelakakan diri
sendiri;
4.
Segala sesuatu
apabila sudah ditakdirkan tetap akan terlaksana.
Tema “Hikayat Purasara”
ialah pencarian manusia sempurna, seperti yang dicita-citakan dewata. Dalam
hikayat ini Purasara merupakan tokoh yang hampir menjadi manusia sempurna.
Namun, seperti yang disampaikan oleh amanat cerita ini bahwa tidak mungkin ada
manusia yang sempurna di dunia ini. Purasara dengan segala keutuhannya, sebagai
manusia tidak dapat lepas dari kesalahan, dan Purasara itu mau memaafkan
kakaknya yang mengganggu isterinya. Dia juga mengutuk keturunan Sentanu dan
keturunnya agar tidak pernah rukun dan damai. Amanat yang dapat terlihat dalam
hikayat ini ialah orang tidak mudah untuk mencapai kemakmuran di dunia. Jadi,
tidaklah mudah untuk mendapat apa yang dicita-citakan.
Transliterasi naskah
kedua hikayat itu dilengkapi dengan daftar kata sukar sebagai lampiran yang
dicantumkan setelah daftar pustaka untuk memudahkan orang memahami jalan
ceritanya.
SUMBER
:
Nikmah S, Muh. Fanani, Sri Sayekti, Putri M.
Mutiara, Nurul Ainin,
“Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara”,
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Jakarta
2010