|
Jlitheng Suparman |
To watch an entire performance of a Javanese wayang leather
puppet show, which can last for up to eight hours, one must prepare one’s
stamina and have the mind-set to follow the stories.
However,
preparing the same amount of stamina just to watch a puppet show could be
considered by some to be huge waste of energy, since people must reserve their
energy to go to work the next day. Or if the show is performed during the
weekend, then hanging out with family members must become the first priority.
The
feeling that wayang might fail to find a place in our current lifestyles that
adore speed and efficiency was what bothered Jliteng Suparman, a traditional
Javanese puppeteer, or dalang, back in 2010.
At
that time, Suparman thought that if no significant improvements were made, then
wayang would slowly lose its charm and audience — and that would be culturally
catastrophic.
“I
then created a wayang climen leather puppet show, derived from the word climen,
which means simplified,” he said in a recent interview. The
wayang climen concept allows a puppeteer to excise all the unnecessary
gestures, songs and fragments during the show and just present the important
parts to save time, manpower and, of course, money. Unlike
the traditional wayang puppet shows that adapt the two great Hindu tales, the
Mahabharata and the Ramayana, wayang climen is allowed to adopt any stories
from other cultures or even mix them with existing wayang stories.
Suparman
acknowledges that he often mixes some foreign stories with traditional wayang
to present today’s complexities. From
a budget perspective, an eight-hour wayang leather puppet show will cost Rp 15
million (US$1,565) while Suparman’s wayang climen show will cost less than Rp 5
million. Furthermore, Suparman says the price is still negotiable. In fact, he
will do a show for free if he sees that the circumstances won’t allow him to
charge. However,
Suparman says that he won’t sacrifice the quality of the show. Therefore, even
though there have been major cuts here and there, both the plot and the
dramaturgy are kept as clear and concise as possible so they won’t create any
confusion for audiences.
Suparman
has also avoided the usage of high Javanese, known as krama inggil, simply
because most people, even most Javanese, won’t understand.
“Krama
inggil is highly aesthetic yet charming and is usually used by the royal
families. However, using that language right now would only create a distance
and confusion between the audience and what the puppeteer is trying to say,” he
explains.
He
uses a mix of languages instead, combining common Javanese with a Jakarta
dialect or Sundanese or even a bit of English during the show, depending on the
environment. As for the music, it is all the same. Suparman has also opted to
bring all kinds of music to the stage instead of only playing Javanese
traditional music during the show.
Playing
modern music, he says, can bring the audience even closer to the performance,
because most of them are already familiar with the music. Another
of Suparman’s special “tricks” is that he allows the audience to interrupt him
during the show, something considered taboo by most puppeteers.
“I
just want to show that everybody will be treated equally during my show. This
can tighten the relationship between us the performers and the audiences,” he
recalls.
Some
young puppeteers have expressed their interest and asked for his “endorsement”
to stage their own wayang climen. Suparman has always said to his juniors that
they could perform the wayang climen anytime they want without the need to pay
attention to copyrights. To him, wayang climen has been dedicated to the public
and he won’t take any benefit from it.
Toward
his effort in raising awareness of wayang climen, Suparman said that he has
gained the support of many senior puppeteers, which could be important in
gaining more support ahead. Graduating
from the Surakarta-based 11 March University with major in Javanese literature,
Suparman acknowledges that he has mostly taught himself how to become a dalang. He
admitted to have inherited the talent from his grandfather, a dalang in
Wonogiri, Central Java, and to have learned from one of his uncles, also a
puppeteer.
The
hardest time during his study to become a puppeteer, he recalled, was when he
was challenged to breathe “soul” into his wayang puppets so people wouldn’t
laugh at him when he performed during the show.
“It
was from Ki Manteb Sudarsono that I learned how to use my puppets smoothly so
that people would think that my puppets are alive,” he recalls.
Ki
Manteb Sudarsono is famous for his skill. Manteb, who now resides in Jakarta,
is widely known as the “devilish puppeteer” referring to his moves that are
fiendishly difficult — if not impossible — to copy.
Besides
learning from Manteb, Suparman recalled that he learned another skill no less
important, chanting in Javanese, from another famous puppeteer, Ki Narto Sabdo.
The
late Narto Sabdo was famous for his firm voice when chanting in Javanese during
his sessions. A good voice is needed to narrate wayang puppet stories. In fact,
some people might categorize a good and firm voice as the main quality that a
puppeteer should have.
The
last but not least, Suparman has also learned Javanese spirituality (kejawen)
like fasting and doing other deeds to add to his charisma when performing with
his puppets.
“I’m
doing kejawen as part of my effort to present my best in performing with my
puppets.”
Terjemahan bebas:
Jlitheng Suparman: Wayang Bagi Masyarakat
Dicky Christanto, The Jakarta Post,
Jakarta | Orang | Fri, 12 Oktober 2012, 08:06
Untuk menonton
kinerja seluruh pertunjukan wayang kulit wayang Jawa, yang dapat berlangsung
selama delapan jam, seseorang harus mempersiapkan stamina dan memiliki seting pikiran
untuk mengikuti
cerita. Namun, mempersiapkan stamina untuk menonton pertunjukan
wayang bisa dianggap menjadi pemborosan energi, karena orang harus menyiapkan energi
mereka pergi bekerja keesokan harinya. Atau jika acara ini dilakukan selama
akhir pekan, kemudian bergaul dengan anggota keluarga harus menjadi prioritas
pertama.
Perasaan bahwa wayang mungkin gagal untuk menemukan tempat dalam gaya hidup
kita saat ini yang memuja kecepatan dan efisiensi adalah apa yang sudah mengganggu Jliteng Suparman, seorang dalang Jawa
tradisional yang berkiprah di dunia pedalangan
awal atau tahun
2010.
Pada waktu itu, Jliteng Suparman berpikir bahwa jika tidak ada
perbaikan pembaharuan yang signifikan, maka wayang perlahan
akan kehilangan pesona dari penonton,
dan itu akan
menjadi musibah dan bencana
besar. "Saya
kemudian membuat sebuah wayang kulit climen wayang golek, berasal dari climen
kata, yang berarti disederhanakan," katanya dalam sebuah wawancara
baru-baru ini. Konsep climen wayang memungkinkan seorang
dalang menyajikan bagian penting untuk menghemat waktu, tenaga, dan, tentu
saja, uang.
Berbeda dengan pertunjukan wayang tradisional yang mengadaptasi kisah Mahabharata
dan Ramayana, wayang climen diperbolehkan untuk mengadopsi cerita dari budaya
lain atau bahkan campuran mereka dengan cerita wayang yang ada. Jliteng
Suparman
mengakui bahwa ia sering mencampur beberapa cerita asing dengan wayang
tradisional untuk menyajikan kompleksitas lakon
wayang.
Dari perspektif anggaran, delapan jam wayang kulit wayang akan menelan biaya Rp
15 juta (US $ 1.565), sementara wayang Suparman
menunjukkan
climen biaya kurang dari Rp 5 juta. Selain itu, Suparman mengatakan harga masih
bisa ditawar. Bahkan, ia akan melakukan pertunjukan secara gratis jika ia
melihat bahwa keadaan tidak akan memungkinkan dia untuk mengisi. Namun, Suparman mengatakan bahwa ia
tidak akan mengorbankan kualitas pertunjukan. Oleh karena itu, meskipun telah
ada pemotongan besar di sana-sini, baik plot dan dramaturgi disimpan sebagai penjelasan dan ringkasan sehingga
mereka tidak akan menimbulkan kebingungan bagi penonton. Suparman juga menghindari penggunaan bahasa tinggi Jawa,
“krama inggil” karena kebanyakan orang Jawa
pun masih banyak yang belum mengerti dengan
bahasa tersebut.
bahasa Krama inggil ini mengandung estetika tinggi
yang biasanya
digunakan oleh keluarga kerajaan.
Da setiap pertunjukannya Suparman
banyak menggunakan
campuran bahasa, menggabungkan Jawa umum dengan dialek Jakarta atau Sunda atau
bahkan sedikit bahasa Inggris. Adapun musik yang digunakan itu semua sama. Suparman juga telah
memilih dan membawakan semua jenis
musik baik musik tradisional maupun musik modern
karena dengan begitu, Ia dapat membawa penonton ke dalam suasana yang lebih akrab. "Saya hanya ingin menunjukkan, bahwa semua orang akan diperlakukan sama selama
pertunjukan saya. Hal ini dapat mempererat tali silaturahmi antara kami para
pemain dan penonton,"
kenangnya.
Beberapa dalang muda telah menyatakan minat mereka dan meminta
"dukungan" untuk menggelar climen wayang
mereka sendiri.
Suparman selalu berkata kepada juniornya bahwa mereka bisa melakukan climen
wayang kapan saja mereka inginkan tanpa perlu memperhatikan hak cipta. Baginya,
wayang climen telah didedikasikan untuk publik, dan ia tidak akan mengambil
keuntungan dari itu. Menuju usahanya
dalam meningkatkan kesadaran wayang climen, Suparman mengatakan bahwa ia telah
mendapat dukungan dari dalang senior yang banyak, yang mungkin penting dalam
memperoleh dukungan lebih ke depan.
Suparman lulusan Universitas Sebelas Maret jurusan sastra Jawa, Surakarta.
Suparman
mengakui bahwa sebagian besar ia telah belajar sendiri bagaimana menjadi seorang
dalang. Dia mengaku telah mewarisi bakat dari
kakeknya, seorang dalang di Wonogiri, Jawa Tengah. Ia
masih ingat saat yang paling sulit
selama studi seni pedalangan, yaitu ketika ia
ditantang untuk bernapas "jiwa" menjadi boneka wayang nya sehingga
orang tidak akan menertawakan dia ketika tampil selama pertunjukan wayang berlangsung. "Itu dari Ki Manteb Sudarsono bahwa saya belajar
bagaimana menggunakan boneka wayang dengan sebaik-baiknya agar wayang
akan Nampak seperti hidup,” kenangnya.
Ki Manteb Sudarsono terkenal dengan keahliannya. Manteb, yang sekarang tinggal
di Jakarta, secara luas dikenal sebagai "dalang setan" mengacu pada
gerakannya yang fiendishly sulit - jika tidak mustahil - untuk menyalin. Selain belajar dari Manteb, Suparman
ingat bahwa dia belajar keterampilan lain yang tidak kalah penting yaitu tentang tembang atau nyanyian dalam bahasa Jawa. Selain dengan dalang Ki Mantep Sudarsono, ia juga belajar dengan dalang terkenal
lainnya, Ki Narto Sabdo.
Ki Narto Sabdo terkenal karena suara tegas
ketika menyanyikan tembang dalam bahasa Jawa selama dalam
sesi pertunjukannya. Memang, suara yang baik dan
bagus sangat diperlukan
untuk menceritakan lakon wayang. Bahkan, beberapa orang mungkin
mengkategorikan suara yang bagus merupakan
prioritas utama yang harus dimiliki dalang.
Suparman juga
belajar spiritualitas Jawa (kejawen).
Banyak melakukan puasa
dan melakukan perbuatan lain untuk menambah karisma ketika tampil dengan
boneka-boneka waayangnya.
"Aku melakukan kejawen sebagai
bagian dari upaya untuk menyajikan yang terbaik dalam setiap
pertunjukan."